Perkataan Gillbert masih berputar terus di kepala Gisella. Sudah seminggu tragedi over dosisnya Louisa berlalu, ia masih memikirkannya. Bahkan sangat sukses merusak mood-nya bersenang-senang.
“Isell, mama dari kemarin bilang sama kamu buat tinggal di rumah sementara. Kamu masih aja bandel. Dari pada kamu keluyuran diluar nggak jelas mending bantu kakak kamu!”
Saat ini, ia terpaksa beradu pandang dengan sang mama. Beliau memaksa untuk bertemu di jam makan siang untuk membahas kenapa sekali lagi ia mempermalukan keluarga di depan calon besan.
“Ma, isell kerja. Nggak keluyuran kayak yang mama kira.”
“Coba sekali lagi kamu ingetin mama, apa pekerjaan kamu?”
“Asisten editor.” Jawabnya tegas. Lalu terdengar suara tawa anggun berasal dari orang dihadapannya. Mamanya sedang menertawakan pekerjaannya. Dan ini bukan yang pertama kali.
“Maaf kalau reaksi mama berlebihan tapi sangat tidak lucu ketika kalimat itu keluar dari keturunan mama.”
“Tapi faktanya mama tertawa!”
Sekali lagi pandangan dingin itu menatapnya, lalu bibir merah itu mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Sekali lagi.
“Hentikan basa-basi kita sayang. Kamu nggak mungkin berpikiran mama tulus tertawa, bukan?” Ucapnya sinis.Dan tentu saja jawabannya tidak, ma.
“Jangan merusak apapun yang sudah direncanakan, gisella! Kamu harus tinggal dirumah dan membantu mama mengurusi pernikahan kakakmu. Hentikan apapun yang sedang kamu lakukan. Resign dari tempatmu bekerja atau mama yang akan membuat perusahaan sialan itu menendangmu! Mengerti?”
Sebelum gisell sempat menjawab, Esther langsung berdiri, memakai kacamatanya lalu pergi. Beliau selalu tidak mau tau jika perkataannya menyakiti hati sang anak atau membuat anak itu menangis.
Gisella hanya bisa menatap punggung mamanya dengan lelehan air mata. Ia lalu merogoh ponsel di sakunya dan menghubungi andrea.
“Ya?”
“Atur jadwal kita ke Boston.”
“What? Kamu serius?”
“Banyak ngomong banget, sih! Kita ke Boston. Titik!”
Andrea tak bisa menghentikan keinginannya untuk memutar bola mata.
“Selow bisa keleus. Stop nangis, deh. Air mata lo udah kayak air zamzam aja, ngalir mulu! Mana nggak bisa djual. Dasar cengeng! Habis ini gue urus. Bye.”Lalu sambungan terputus. Gisella memelototkan matanya mendengar ocehan Andrea. Tanpa sadar ia meremas ponselnya. Sekali lagi ia tak diberi kesempatan bicara. Sial sekali hidupnya.
***
Di jam yang sama, di tempat yang berbeda. Mikail dan gianna sedang makan siang bersama di salah satu Mall. Keduanya sudah tak canggung satu sama lain. Menurut Mikail, gianna adalah partner yang bisa mengimbanginya. Tidak ada pembicaraan yang tidak menyambung dengan gianna. Semua terasa mudah. Bahkan Mikail tak menyangka bahwa perjodohan akan jadi semenyenangkan ini. Masih terlalu dini untuk mengatakan ini adalah bibit cinta. Sejak meninggalkan usia 20-an, ia sudah tak lagi terobsesi dengan perasaan itu. Mikail hanya ingin menjalani kehidupannya se-realistis mungkin. Seperti keputusannya menerima perjodohannya dengan Gianna. Pilihan yang sangat realistis.“Gianna, bulan ini aku ada meeting di boston.”
“Untuk berapa lama?” Tanya Gianna.
“Aku harap nggak sampai satu bulan. Ada hal yang harus aku urus disana.” Jawabnya dengan wajah menyesal.
Gianna tersenyum memaklumi. Ia mengelus satu tangan Mikail yang berada diatas meja.
”Aku bisa mengurus keperluan kita disini. Mama memaksa Gisella pulang untuk membantuku. Kamu jangan khawatir.”Kali ini Mikail yang mengerutkan dahinya. Merasa tidak yakin dengan kemampuan calon adik iparnya. “Maaf, bukan maksudku untuk merendahkan Gisella. Tapi apa kamu yakin dengan dia?”
“Tentu saja tidak, aku nggak akan kasih dia tugas yang berat. Tenang aja.” Jawab Gianna sambil tertawa.
Inilah yang membuat Mikail semakin menyukai Gianna. Mereka berpikiran sama dan dengan jawaban yang sama.
“Well, kalau begitu problem solved. Aku mempercayakan pesta pernikahan kita di tanganmu.” Mikail membalas senyuman Gianna sama hangatnya. Mikail tak perlu lagi merasa khawatir akan kemungkinan gagalnya pernikahan mereka ditangan Gisella karena calon isterinya sudah paham apa yang harus ia lakukan.
***
Dua minggu kemudian Gisella terbang ke Boston tanpa Andrea. Ia berniat menempati apartemen yang ditinggali Gianna selama kuliah. Lebih nyaman tinggal di apartemen sendiri, bukan? Daripada tinggal di hotel. Sangat membosankan. Oh ralat, bukan apartemennya tapi apartemen kakak perempuannya yang pintar.
Gisella mencebikkan bibirnya, jengkel akan pemikirannya sendiri. Saat ini ia harus menyeret dua koper jumbo tanpa asisten atau manager ke lantai 17 dalam keadaan sedikit mabuk usai menghadiri pesta penyambutan dari temannya. Sialan.
Tak butuh waktu lama, ia akhirnya sampai di depan pintu dan memasukkan sederet nomor. Gisella tersenyum sinis mengingat betapa membosankannya Gianna yang menjadikan tanggal lahir sebagai nomor sandi.
Pintu apartemen terbuka, bau maskulin langsung menerpa penciumannya. Jangan berharap ada perabotan dengan warna pastel karena siapapun tidak akan menemukannya di area milik Gianna.
Gisella menjatuhkan kopernya dengan asal-asalan. Membuka mantel skaligus baju dan hanya menyisahkan bralet dan celana jins saja. Ia lalu menjatuhkan dirinya di sofa dan mulai tidur.
***
Mikail sedang berdiri kaku di depan ruang tamu dengan mata melotot menahan marah. Terdapat perempuan yang ia kenali sebagai calon adik iparnya sedang tertidur dengan posisi yang amat sangat tidak cantik di tambah kondisi gadis itu yang setengah bertelanjang.
Apa yang sedang gadis itu lakukan disini? Seingat Mikail, gianna tidak memberitahukannya tentang gisella yang akan menyusulnya kesini. Apa gadis itu akan tinggal disini juga? Satu atap dengannya? Tidak. Ini mala petaka. Dia akan mengusir gadis itu. Pasti.
Mikail menepuk pipi Gisella hingga gadis itu terbangun.
“Bangun gisella atau aku akan menyiram wajahmu dengan air dingin!”Berhasil. Gadis itu bangun dan melihatnya. Sedetik kemudian Mikail melihat gadis itu menatapnya horor. “God damn! Apa yang kau lakukan disini, sialan?”
Mikail tak berniat menjawabnya. “Lihat dirimu! Bangun dan pergi dari sini!”
Mereka berdiri dan saling melotot. Ia cukup lelah mengikuti investor seharian. Bahkan ia lupa mengabari gianna selama dua hari.
“Maaf, kamu siapa? Kamu hanya calon yang suatu saat bisa jadi gagal. Dan kamu lebih dari sekedar mampu untuk menyewa hotel disini. Jadi lebih baik kamu yang pergi.”
“Kamu tidak akan mengerti gisella. Ini bukan masalah mampu tapi efisiensi waktu. Aku disini karena mengurusi bisnis bukan seperti kamu yang tidak jelas. Dan aku juga yakin gianna tidak tau kamu disini.” Sinis Mikail.
“Well, aku menangkap maksudmu. Kalau kamu ingin memberitahu gianna kalau aku disini juga tidak masalah. Gianna ataupun mama tidak akan bisa memaksaku pulang atau mungkin mereka yang akan menyusul kesini. Kau bisa memilih.”
Gisella tau bahwa kondisinya nyaris telanjang tapi tak ia pedulikan. Sekarang yang ia pikirkan hanya bagaimana caranya ia bisa mendepak laki-laki sialan yang akan menjadi kakak iparnya.
“Dasar tidak berguna. Lakukan apapun yang kau mau dan jangan pernah berbicara ataupun menggangguku.” Dan terdengar suara bantingan pintu dari Mikail.
Gisella luruh ke sofa lalu memijit dahinya yang terasa berdenyut. Ia masih shock dengan kenyataan mikail juga berada disini. Sekali lagi ia harus bertanya kenapa hidupnya penuh dengan kesialan? Mendadak bulu kuduknya meremang kala ia mengetahui satu fakta bahwa ia akan menghabiskan waktu di boston dengan Mikail, calon kakak iparnya. Sial!
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love (Gisella)
CasualeCerita ini tentang seorang Gisella, anak bungsu dari keluarga Adinata. Dia sangat berbeda dari keluarganya. Dia seorang yang liar, sangat sulit dikendalikan. Si pemberontak yang berjuang demi mendapatkan pengakuan dari sang Ibu. Lalu, Gisella menge...