BAB 13. Panah yang dirindukan

32.2K 2.3K 156
                                    

Manda kembali melakukan rutinitasnya, bersiap untuk berangkat ke kampus. Memastikan kamarnya terkunci lalu menghampiri lelaki yang sudah menunggunya.

"Maaf, lama ya." Manda merapikan rambutnya yang terkena angin. Nande menggeleng, tersenyum. "Aku udah bilang bisa berangkat sendiri, nggak perlu jemput aku."

"Ayo masuk."

Manda mengangguk. Menghempaskan pantatnya di kursi penumpang begitu Nande membukakan pintu mobil untuknya.

Tidak ada obrolan. Manda lebih banyak diam dan menjawab seadanya saat Nande bertanya. Sampai di kampus, Manda kembali menjadi sorotan saat berjalan bersama Nande. Manda tidak pernah suka menjadi pusat perhatian.

"Udah, sampai sini aja. Kamu ke kelas sana." Manda menghentikan langkahnya. "Aku bisa sendiri, dan aku gak pa-pa. Kamu tenang aja."

"Gue mau sama lo."

"Kita beda jurusan,"

"Gak masalah beda jurusan. Yang penting sama soal perasaan." Ujar Nande mengedipkan sebelah matanya. Nande masuk kelas terlebih dahulu di ikuti Manda yang akhirnya menyerah mengusir Nande.  Tidak ada yang berani menatap Manda. Bukan merasa terjaga, Manda merasa tidak nyaman.

Manda tidak bisa berbuat banyak saat ada temen sekelas menghampirinya dan ingin mendiskusikan soal materi pelajaran, Nande selalu menghalanginya. Mengintimidasi dan membuat teman sekelasnya malas berurusan dengan Manda. Melarang Nande saja Manda tidak berani. Nande selalu punya cela agar kalimat Manda selalu salah. Nande tidak mengizinkan seorangpun menyentuhnya. Tapi bukan seperti ini yang Manda inginkan.

Orang yang awalnya tidak benci dan tidak punya masalah padanya, memandang jengah dan ikut membencinya.

Demi menghindar dari Nande. Manda selalu bangun pagi dan pergi ke kampus sendiri. Bersembunyi sebelum kelas dimulai. Banyak mata pelajaran yang Manda lewati, lebih baik membolos agar tidak bertemu Nande. Manda tidak ingin bertemu Nande ataupun berurusan dengan lelaki itu.

"Kenapa lo menghindar? Kasihan, dia mau banget ketemu sama lo." Bunga menutup lokernya, menguncir rambutnya asal menatap Manda lewat pantulan kaca. "Cowok ganteng dicuekin."

"Dia udah pergi?" Bunga mengangguk, Manda menghembuskan nafasnya lega.

"Btw, cowok ganteng yang punya tindik di hidung nggak pernah kelihatan lagi. Kenapa?" Setelah memastikan rambutnya rapi, Bunga berbalik menatap Manda. "Migel kan namanya?" Manda hanya menjawab dengan senyuman, menggunakan tas punggung lalu pamit pada Bunga.

Malam semakin dingin. Manda menarik retseliting jaket sampai ujung lehernya. Menutup kepalanya dengan hoddie jaket, memasukan kedua tangannya ke saku dan berjalan cepat. Takut jika kehujanan lagi karena suara gemuruh semakin keras. Melewati sekumpulan lelaki yang duduk di pinggir jalan. Banyak putung rokok dan botol minuman keras. Belum lagi suara music dari salah satu handphone sebagai penghantar kegilaan.

Manda memilih jalan sebelah kanan, menghindar dari teriakan lelaki yang menyadari keberadaannya. Jantung Manda berdetak kencang dengan langkah yang semakin cepat. Sepertinya, langkahnya kalah cepat dengan sebuah tangan yang berhasil menahan dan menariknya kasar. Manda berusaha menahan agar tubuhnya tidak terseret.

"Kita ada tamu, nih." Orang yang menarik tangannya bersuara.

Suara sorak langsung mendominasi saat Manda hadir. Merasa tidak ada yang bisa menolongnya meski Manda berteriak sekalipun, ide cemerlang datang begitu saja.

Manda menggigit tangan lelaki yang menggenggam tangannya. Tidak sampai di situ, setelah tangannya berhasil lolos, Manda langsung menginjak kakinya dan segera berlari sekuat tenaga tanpa menoleh ke belakang. Manda tertawa sambil berlari, merasa bangga bisa menghajar orang itu, seakan membebaskan sebuah negara dari serangan monster, itu yang Manda rasakan sekarang.

Don't Touch Her!!  [SUDAH ADA VER. EBOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang