Telepon Laut dan Aku

139 5 11
                                    


Awan hitam baru saja menduduki langit sore itu. Hitamnya menutup tak menyisakan tempat bagi sang putih. Jingganya langit juga tak tampak. Hanya menghitam legam, seperti suasana jalanan yang mulai lengang. Hilir-mudik hanya terlihat sebatas pintu keluar-masuk bandara. Kedatangan internasional pada Bandara Haneda mulai ramai ditapaki kaki-kaki pelancong. Begitu halnya dengan kakiku, yang berflatshoes tali putih juga baru saja mendarat dengan selamat.
“Wellcome to Tokyo, Japan.” Suara penyambutan mulai berdengung pada tiap speaker yang terpasang di sudut bandara. Langkahku meragu, masih mendelik mataku ke arah exit door. Berharap seandainya aku tak harus meninggalkan negaraku.
“Lanjutkan saja studymu di Jepang. Mama takkan melarangnya. Pergi lebih cepat, itu lebih baik,” keputusan Mamaku yang akhirnya membuatku terdampar pada negeri empat musim ini. Tapi aku tahu, ada maksud lain dari perkataannya itu.
Namaku Ageng, aku ini anak semata wayang dari keluargaku yang sekarang sudah tak dapat lagi satu atap. Ayah dan Mamaku memutuskan untuk bercerai tepat ketika aku menginjak usia 16 tahun. Dua bulan yang lalu, di ulang tahunku ke  18, Ayah menikah dengan wanita pilihannya. Aku tak tahu, apakah Mama sudah tidak bisa sendiri, atau karena Mama gengsi. Begitu ia mendapat undangan biru dari Ayah, Mama pun memutuskan untuk menikah lagi.
“Aku hanya ingin kita fokus pada keluarga baru kita. Ageng sudah dewasa, biarkan dia mencari dunianya. Lepas liarkan saja!” perkataan calon Ayah tiriku yang kudengar dari balik dinding ruang tamu yang tak bertelinga itu. Mungkin bila aku tak mendengar pembicaraan mereka, aku bisa saja menganggap kepergianku sebagai hadiah karena aku telah menderita selama ini. Tapi, karena aku mendengarnya, aku jadi merasa dibuang oleh mereka. Hhh, menyebalkan.
“Arraseo! Aku akan menikmatinya. Aku juga sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri, kan? Tidak perlu kesal.” Aku menguatkan hati, padahal kegugupan dan ketakutan semakin menjadi di dalam sini. Kudorong koper pink dengan dua roda yang menggesek pada lantai bandara. Kedatanganku tak disambut siapa pun. Kusingkapkan jaket bulu cokelat yang membalut setengah badan, sembari sesekali kulihat andromaxku. Berharap satu panggilan dengan suara kekhawatiran terdengar. Tapi kosong, bahkan satu pesan pun tidak ada. Aku hanya tersenyum, naik pada kendaraan kuning dan mencoba menikmati langit mendung. Alam, bahkan memperparah suasana hatiku. Yah, selamat datang di Jepang.
“Ini ruanganmu. Perkuliahan akan dimulai pukul 09:00, besok. Semoga kamu betah, ya.” Seorang penjaga asrama menyapaku dengan ramah. Dia memberikan kunci dengan nomor 212, setelah puas menebar peraturan dia bergegas berbalik pergi. Dengan seksama aku membuka pintu kamar yang akan kutinggali.
“Kon’nichiwa! Keigu.” Sapaan lembut yang kudengar melewati telingaku. Padahal aku baru saja melangkah memasuki kamar. Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri. Tak ada siapa pun di sini. Bahkan lorong asrama juga sepi.
“Haiss, aku memang ingin ada yang menyambutku, tapi tidak mengerikan seperti ini. Huhh,” aku mencoba untuk melawan takut. Dengan cepat kukunci pintu kamar, beberapa pakaian dan buku langsung kumasukkan ke dalam lemari. Setelah selesai membersihkan diri aku bergegas menarik selimut. Entah nantinya aku akan terlelap atau tetap terjaga, aku tidak peduli. Kejadian tadi, membuatku sedikit kehilangan keberanian. Bukannya manusia, yang menyambutku malah sesuatu yang tak kentara.
***
“See you next time.” Akhir kata dari sang dosen, yang tepat menemani kebiasaanku selama sebulan di Jepang ini. Perlahan aku mulai akrab pada situasi negara yang terkenal dengan banyak keunikannya. Pada hujan, pada dingin dan pada hangatnya cuaca, aku mulai terbiasa. Tapi tetap saja, perasaan layaknya cangkang kosong masih bersarang ramah tak mau lepas pada dasar hati.
Untuk menghibur diri, beberapa hari ini aku sering mengunjungi pulau Hokkaido. Menikmati pemandangan laut yang dikelilingi pasir putih. Sebenarnya, aku berkunjung bukan karena sepenuh hati. Hanya saja, kembali ke asrama sebelum mata ini lelah, sungguh bukan tindakan bijak.
“Watashi o tasukete.”
“Watashi o sukuu.”
“Watashiniha, anata ga hitsuyodesu.”
Suara-suara parau  masih sering berdengung di kamar itu. Itu adalah kalimat seperti “Tolong aku.” pada versi menakutkan. Tapi anehnya, ketika bisikan “Hokkaido” menyambar telingaku, aku malah tergerak untuk datang. Dan itu, benar-benar pilihan tepat. Menghilangkan beberapa kepenatan. Hanya melihat dan mendengar deburan ombak, aku sedikit melupakan kenangan burukku.
Dengan centil aku bermain kejar-kejaran bersama ombak. Buih putih beberapa kali mengenai kakiku. Padahal, hari itu dijadwalkan salju pertama akan segera turun. Udara memang sangat dingin, saat aku menghembuskan nafas segerombol asap keluar dari mulut dan hidungku. Tapi, aku tak bermasalah, sangat menyenangkan bermain di Laut Jepang. Langkahku kembali kuarahkan pada pasir putih.
“Hhh, menyenangkan,” berkata aku sembari menyingkap erat jaketku. Mataku terfokus pada benda persegi panjang yang sedikit tertutup pasir. Mendekat aku, mengerutkan kening, memunculkan ekspresi penasaranku. Kupungut, benda itu handphone full touch screen yang penuh dengan goresan.
“Kon’nichiwa.” Satu pesan masuk dan hampir membuatku menjatuhkannya. Aku hanya menatap, tak berani membalas.
“Berapa umurmu?”
“Kau sendirian? Bisa kau bantu aku?” Pesan lainnya masuk. Dan aku masih menatap.
“Jawab saja! Aku membutuhkan bantuanmu.” Pesan baru masuk lagi saat hendak kuletakkan handphone itu.
“Siapa kamu?” aku mengetik cepat.
“Telepon, laut dan aku.” Dia membalas membuat keningku kembali mengerut. Ini pasti hanya iseng semata, daripada jatuh ke dalam kejahilan gila, aku memutuskan untuk meletakkan handphone itu. Baru saja akan meletakkanya, handphone itu bergetar. Mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Pandanganku jadi hanya putih saja. Setelah beberapa detik menyelimuti Hokkaido sinarnya menghilang, yang terlihat sekarang seseorang dengan pakaian pangeran bak negeri dongeng berdiri tepat di hadapanku. Kedatangannya berbarengan dengan jatuhnya butiran salju.
“Anatahadare?” ragu aku bertanya siapa dia. Bukannya menjawab, dia malah melihatku dari ujung kaki sampai kepala. Kutatap garang dia sembari mempersiapkan diri kalau-kalau dia berbuat jahat.
“Bisa kau bantu aku?” dia berucap cepat. Aku melangkah mundur begitu dia mendekat. Suasana jadi sangat mencekam, padahal aku hanya ingin menikmati salju pertamaku di sini. Hendak kabur aku, tapi dia memetik jarinya. Dan kulihat jelas bentuk butiran salju yang kini terhenti melayang. Berdiam tepat di depanku. Nyiur yang melambai juga tampak berhenti. Bahkan ombak berada pada posisi atas. Situasi gila macam apa yang sedang kuhadapi ini. Aku semakin menatapnya, seolah biji mataku hendak meloncat.
“Amutoki. Bantu aku, Ageng.” Kali ini wajah seriusnya membuatku perlahan menenangkan diri.
“Ada apa? Aku akan membantumu,” aku meluluh dan seketika dia kembali memetik jarinya. Keanehan mulai terjadi lagi, pulau Hokkaido dengan birunya laut, sekarang malah berubah menjadi padang rumput yang dipenuhi dengan dandelion dan edelweiss. Tak ada satu pun rumah bahkan manusia. Hanya kami berdua di tengah pemandangan yang menakjubkan.
“Airin, saudari kembarku, disihir oleh Patra, penyihir jahat. Aku tidak bisa memecahkan sihirnya. Karena kau yang telah memungut ponsel itu, makanya kau harus menolongku.” Dia menjelaskan. Kuperhatikan sekitar, ada yang aneh dengan tempat ini. Dandelion dan edelweiss itu tak tertancap pada tanah. Hanya melayang di atas padang rumput. Beberapa yang lainnya juga mulai tampak layu.
Kembali Amutoki menjelaskan, bahwa ada dua tempat yang harus dilalui untuk menyelamatkan saudarinya itu. Sembari memecahkan sihir, ada kekuatan lain yang juga harus ia lawan. Itulah mengapa dia tidak bisa melakukannya sendiri. Tempat pertama, agaknya harus menyelamatkan dandelion dan edelweiss.
“Matsu! Edelweiss artinya keabadian, kan? Sedangkan dandelion itu tumbuhan yang rapuh. Orang-orang biasanya akan meniupnya begitu ia merekah,” aku menganilisa sembari menjongkok memegang dua tumbuhan itu. Dan tiba-tiba kilatan-kilatan muncul mengacaukan ketenangan kami. Amutoki bergegas memasang kuda-kuda, mencoba menghalau serangan yang datang.
“Cepat pikirkan lagi, pecahkan sihirnya!” dia berteriak sembari terus kulihat kilatan dengan cepat memburu ke arah kami.
Walau telah tercabut akar, edelweiss tetap bertahan, tapi dandelion, saat dia merekah, dia malah rapuh dan dengan mudahnya tertiup angin. Keduanya juga, tumbuh pada tempat yang dingin. Itu artinya, “Dua karakter berbeda yang hidup bersama, di dunia ini. Memang ada yang begitu, kan? Saling melengkapi dan berdampingan. Keduanya punya sisi negatif dan positif.” Aku bergerak mulai menyatukan dua tumbuhan itu. Kulihat Amutoki, dia tampak tersenyum, dengan beberapa keringat mulai memburai.
Dandelion dan edelweiss itu telah kusatukan, seketika kilatan berhenti. Beterbangan pula dua tumbuhan itu. Sang dandelion melingkupi edelweiss, dan menjadi butiran salju yang indah, perlahan turun menyentuh pijakan kami. Aku menghela lega, sembari tersenyum simpul pada Amutoki.
Padang rumput yang luas itu dengan cepat menghilang. Digantikan oleh suasana kosong dengan putih yang tumpah ruah. Mengingatkanku dengan suasana hatiku. Cangkang kosong. Kami berdiri menatap sekeliling. Titik-titik hitam mulai berdatangan, berputar membuat kepala menjadi pusing.
“Bisa kau pecahkan ini? Sebentar lagi akan ada sihir yang menyerang kita.” Amutoki menatapku serius. Ini adalah tempat terakhir. Aku juga ingin segera terbebas dari fantasi gila ini. Kutatap dengan serius bintik yang berbaris seolah membentuk garis. Dan penyerangan oleh sihir jahat mulai terjadi lagi.
Kuputar kerja otakku lebih kencang. Tak bisa terbuka. Apa maksudnya bintik yang berkumpul dan berada dalam ruang putih ini. Diantara bintik dan garis, bintik yang terlahir lebih dulu. Tapi, bila hanya bintik, jadi tidak bernilai,kan? Apa iya, bintik itu bisa menjadi garis? Bintik ya bintik, garis ya garis. Walaupun bintik itu berkumpul rapat, apa bisa berbentuk garis? Tapi, bila tak berspasi apa bisa saja itu terjadi?
“Yakh Patra!! Jangan berharap menjadi garis bila kau sebuah bintik. Bintik bergaris? Yang benar saja?! Jangan terlalu bermimpi, bahkan walau tak berspasi, bintik yang berkumpul itu tetap tak bisa menjadi garis!” Aku berucap lantang. Seketika teriakan kesakitan terdengar memenuhi seisi ruangan. Patra menunjukkan wujudnya yang menyeramkan. Dibalik punggungnya, seorang puteri terkulai lemas masih diselimuti kekuatan hitam.
“Awas kalian!!” teriakan Patra sesaat sebelum dia terbakar hebat. Kekuatan sihirnya menghilang. Airin segera ditangkap oleh Amutoki. Masih tak sadarkan diri ia.
“Arigatou, Ageng.” Amutoki berucap sembari tersenyum menggambarkan kelegaan. Aku terduduk, dan kulihat kami sudah tak berada lagi pada ruang putih itu. Amutoki memetik pelan jarinya pada wajah Airin, dan seketika Airin menghilang. Aku mulai terbiasa dengan keanehan yang terjadi.
“Kenapa kau tau namaku? Darimana asalmu?” aku berucap ingin mengakhiri penasaran.
“Telepon, laut dan aku,” dia tetap menjawabnya dengan kalimat itu. Sembari tersenyum simpul, disentilnya dahiku. “Apa kau bisa memecahkan sandi itu?” sambungnya menatapku. Aku mengerutkan kening, menghembuskan hawa dingin.
“Kau hanya perlu menikmati semuanya. Seperti ketika kau melihat sinar matahari yang menari diantara dedaunan yang dihembus angin. Jadi mungkin walau tak gelap, kau bisa menikmati bintang.” Dia berucap lembut kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku, aku berusaha menepis sembari menutup pelan mataku.
Bergetar tanganku akibat getaran benda yang kugenggam. Mataku terbuka, dan Hokkaido telah normal seperti semula. Aku kembali pada keadaan awal aku berdiri di sana. Dan jam pada tanganku masih menunjukkan pukul 02:21, hanya semenit saat aku hendak meletakkan handphone yang penuh goresan itu. Semua fantasi itu, apa hanya mimpi? Getarannya kembali terasa.
“Arigatou, Ageng.”
“Telepon, laut dan aku.” Dan pesan itu kembali datang.
Aku tersenyum, menyadari semua fantasi itu bukan mimpi. Kutatap luasnya biru di hadapanku. Getaran menjalar hingga ke sendi-sendiku yang perlahan bergeming. Jantungku berdetak begitu tersadar aku makna sandi itu.
“Telepon, laut dan aku.” Bila kuucapkan dengan bahasa inggris, dan mengubah susunannya, maka menjadi I (ai), Sea (shi), Tell (teru). Iya, kan? Jadi maksud sandi itu, adalah pesan Amutoki padaku. Fantasi itu semua, aku tak mengerti bagaimana bisa terjadi. Tapi kalimat “Telepon, laut dan aku” yang dia katakan, aku jadi menyukainya.
Itu bermakna “Aku cinta kamu.” Ya, Aishiteru. Anehnya, perasaan layaknya cangkang kosong, tiba-tiba saja menghilang. Deburan ombak yang dijatuhi salju pertama menemaniku dalam keindahan Hokkaido. Bila memang bisa, kuharap kau akan datang lagi, Amutoki. Karena aku juga “Telepon, laut dan aku” padamu. Amutoki, aku juga ingin merasakan Aishiteru bersamamu. Jadi bisakah kau datang lagi? Dan membawaku pada fantasi yang indah? Amutoki, aishiteru.

Rainsun Oneng (Putri Ageng)

TELEPON, LAUT DAN AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang