Nabila menyalakan keran air panas dan dingin bersamaan supaya air yang keluar akan menjadi hangat. Mengisi setengah baskom, lalu memasukkan kain waslap dan meremasnya ketika sudah terbasahi. Dia keluar dari kamar mandi menuju ranjang. Dimana suaminya, tengah meringkuk dibalik selimut dengan muka memerah.
Bukan karena tersipu habis bercinta. Tapi dia demam.
"Sini, aku kompres dulu." ujar Nabila lembut dan menyiapkan handuknya untuk diletakkan di kening Bram. Lelaki itu sedikit membuka mata dan memasang raut kuyu.
"Disini nggak ada obat pusing ya?" tanyanya dengan suara serak.
"Nggak. Kemarin kita kok nggak bawa obat ya, mas? Lupa kali. Nanti deh aku ke bawah cari diapotik deket-deket sini." Nabila menyesali mengapa ia tidak membawa obat saat akan bepergian jauh. Mungkin kemarin pasangan ini berpikir hanya akan senang-senang saja. Namanya juga bulan madu. Dan yang dituju hanya Singapura. Negara yang notabene hampir sama cuacanya dengan Jakarta. Jadi tidak prepare obat karena merasa akan baik-baik saja.
Tapi kenyataannya, Bram demam dan hanya bisa meringkuk di bawah selimut ketika hari ke empat mereka bulan madu.
"Suruh room servis aja, Nab. Aku nggak mau kamu nyasar."
Nabila memutar kedua bola mata bosan. Masih sakit orang ini tetap bebal. Kan teknologi zaman sekarang sudah canggih. Polisi juga dimana-mana. Tapi Nabila hanya mengiyakan karena malas berdebat dengan orang sakit.
"Mas, sih. Sebelum nikahan diforsir kerjaannya. Sekarang baru ketahuan ambruknya kan. Daya tahan tubuhnya menurun." ceramah Nabila memijat kening Bram. Suaminya itu keenakan dan memejamkan mata merasakan pijatan Nabila. Tubuhnya berkeringat dan linu-linu. Pusing.
"Kan mas harus nyelesain kerjaan dulu. Nanti kalau masih keteteran, nggak bisa bulan madu."
"Tapi mas kelihatan ngerjain yang berat-berat. Inget nggak pas sebelum hari H itu mas ke Pontianak. Padahal aku kan lagi pingitan."
"Iya, iya. Maaf ya. Jadi ngerepotin kamu. Mas juga nggak mau sakit gini, sayang."
Nabila tersenyum lucu. Mendekatkan wajahnya pada wajah Bram dan mengecup pipi Bram yang kulitnya nampak sedikit panas. Lelaki itu membuka mata dan menatap istrinya bingung.
"Sick and healthy together, remember?"
Bram tersenyum lirih diingatkan akan sumpah pernikahan mereka. Meraih buku jemari istrinya yang tengah memijat, dikecupnya bagian jari manis yang bertengger cincin pernikahan mereka.
"Mama bener. Kalau udah punya istri enak. Dulu aku kalau demam ya ngompres-ngompres sendiri. Cari obat sendiri. Urus-urus sendiri." Nabila cekikikan mendengar pengakuan Bram di zaman lajangnya ketika dia tinggal sendiri tanpa pasangan. Lalu wanita itu terjatuh ke pelukan Bram karena Bram merengkuhnya.
"Tidur sini ya temenin aku?" pinta Bram memelas seperti ponakan Nabila yang meminta es krim. Mau tak mau Nabila mengangguk. Ikut bergabung ke dalam selimut dan membiarkan dadanya dijadikan bantal oleh Bram. Dalam beberapa menit di keheningan pagi menjelang siang, pria itu langsung tertidur.
Nabila menunggu lima belas menit untuk diam, dan perlahan dia bergeser tanpa membangunkan suaminya tersebut. Setelah berhasil lepas, dia segera bangkit. Menyusut kamar apartemen luas itu. Dia beranjak menuju kulkas mini. Tak ada apapun untuk disantap orang sakit. Hanya ada roti beku, soda, dan kue tart sisa mereka kemarin ketika berjalan-jalan. Akhirnya, Nabila memutuskan untuk pergi ke toko terdekat yang ada disekitar kondominium mereka. Sekalian membeli obat selagi Bram tidur pulas. Dia berganti baju tanpa suara, menyambar dompet dan ponsel. Kemudian dia keluar dengan mengendap-endap.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...