Tok...tok...tok...
Siang ini, disini, aku berdiri di depan pintu rumahnya. Wanita yang dengan bodohnya aku tinggalkan, wanita yang seharusnya aku jaga, tapi justru tak ku pedulikan. Aku ke sini karena tiba-tiba merasa rindu.
Krieeett...
Mata itu ... itu adalah salah satu hal yang sangat aku suka darinya. Tetapi, ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya ... ya, tatapan itu sukses membuat aku benci pada diriku sendiri. Tatapan yang dia berikan saat terakhir kali kami bertemu, dan itu mampu membuatku merasa bersalah sampai detik ini.
Saat ini, di sini, aku duduk di hadapannya dengan sebuah meja kecil yang menghalangi. Aku melihat isi rumah ini, masih sama. Barang-barang di rumah ini tak ada yang bergeser sesentipun dari saat terakhir aku pergi.
Aku menatap wajah indahnya, wajah yang dulu aku pertahankan agar tetap tersenyum, namun kini berubah datar seakan tak bernyawa. Ke mana senyum manisnya yang dulu mampu memberikan semangat untukku? Apakah terbawa olehku?
Hhhh~
Rasanya ingin sekali aku membawa tubuh mungilnya dalam dekapanku.
Keheningan yang menjadi selimut kami sejak tadi, tanpa sadar telah membawaku mengingat saat-saat bersamanya dulu. Sepasang anak remaja yang menganggap cinta hanya sebuah kesenangan. Saat itu kami belum mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya, yang kami tahu hanyalah 'dia adalah milikku' dan 'aku adalah miliknya', tidak ada orang lain yang boleh memiliki dia ataupun aku.
Seiring waktu berlalu, kami masih bersama. Dia yang 2 tahun lebih tua dariku, meminta kejelasan akan tujuan dari hubungan kami ini. Saat itu aku hanya berjanji bahwa kami akan bersama selamanya. Tapi seiring bertambah dewasa, kami tertahan oleh sebuah tembok tinggi yang bernama realita.
Aku baru meniti karir sebagai pengusaha, dan dia baru saja mendapat promosi jabatan di perusahaan tempatnya bekerja. Sepasang calon pengantin yang memiliki karir bagus? Itu pasti menjadi impian untuk semua orang, termasuk kami. Sayangnya, kami tertelan dengan kesibukan kami masing-masing, dan itu cukup membuat hubungan kami merenggang.
Sampai akhirnya, pada suatu malam aku datang ke rumahnya dalam keadaan mabuk berat, aku tak dapat mengendalikan diriku. Perlakuan kasar serta perkataan yang menyakitkan, dengan ringan aku lontarkan padanya. Semuanya hanya karna berlandaskan satu hal. Cemburu.
Beberapa hari sebelumnya, aku yang saat itu baru saja selesai menemui clientku disebuah resto, tak sengaja melihatnya asyik bercengkrama di resto yang sama dengan seorang pria yang sangat amat aku kenal, Mas Yoga. Kakak kandungku sendiri.
Pria mana yang tidak berfikir macam-macam jika wanitanya terlihat asyik berduaan dengan pria lain, ditambah sebelumnya dia sangat sulit dihubungi? Sekalipun pria yang bersama wanitanya itu adalah saudaranya sendiri, aku yakin tak ada satupun pria yang dapat berfikir positif sebelum mendapatkan penjelasan. Sayangnya, sebelum aku mendapat penjelasan, emosiku sudah membuncah terlebih dahulu.
Saat itu, tepatnya 5 tahun yang lalu, aku memutuskan untuk pergi dari kehidupannya setelah 7 tahun kami bersama.
Dalam 5 tahun ini, bisnisku berkembang pesat. Aku memutuskan untuk pindah ke Jakarta, dimana sebelumnya aku tinggal di Surabaya. Aku berharap dengan kepindahanku serta kesibukan yang kumiliki saat ini, dapat melapangkan sedikit pikiranku yang masih dipenuhi olehnya. Dengan kesuksesanku ini, gadis-gadis cantik tumpah ruah dihadapanku. Namun entah mengapa, aku merasa seperti ada sebuah batas yang menghalangiku untuk menyentuh mereka.
30 menit kita disini~
Tanpa suara~Sepenggal lirik lagu dari Band Jamrud itu sangat tepat untuk menggambarkan keadaanku dengannya. Tidak ada satupun dari kami yang mengucapkan sesuatu.