Stranger

4 0 0
                                    

Lagi-lagi terdengar suara. Sudah kali ketiga. Ketukan pintu, semakin keras kali ini seperti gemuruh emosi.

Nana bersembunyi dibalik selimutnya mendengar itu, ponselnya masih digenggam kuat dan terhubung dengan seseorang memberitahu keadaannya. Selang 15 menit, suara dari luar menghilang.

Sedikit bernapas lega, namun nana sebenarnya menahan tangis. Hari ini sendirian dirumah, dan jam menunjukan pukul 10 malam semakin mencekik batin Nana. Dingin nya angin melalui ventilasi garis diatas jendela, menambah suasana cekam pada kamar sang gadis.

Selagi suara misterius itu hilang, Nana mencoba tidur. Ia menenangkan dirinya sendiri, mandiri tentu saja. Tak ada yang bisa membantu dia. Ponsel Nana dalam mode silent, seperti bersembunyi dari seseorang, Nana tak ingin membuat kegaduhan apapun yang menunjukan eksistensi nya.

Menarik selimut dengan tubuh meringkuk, tak dingin, namun bergetar. Takut. Itu pula yang Nana sampaikan pada siapapun yang barusaja ia kontak di ponselnya. Pesan kalimat ketakutan. Aura sang gadis semakin melemah, seperti sulit bernapas, namun tetap, mencoba istirahat pejamkan mata. Berharap dirinya akan tertidur dan besok pagi ia bangun, dengan malam ini menjadi kisah mimpi buruk saja.

Cukup lama Nana mengatur napasnya sendiri, walau tidak berlari ratusan meter jauhnya. Belum berhasil terlelap.

Seketika netranya kembali dikejutkan suara masuk ruang dengar, kemunculan suara itu lagi. Ketokan yang sama. Gemuruh yang sama. Kekuatan yang sama. Entah siapa, sangat misterius. Orangtua Nana selalu bilang untuk tak pernah membuka pintu bagi orang asing, apalagi sekarang diatas jam malam untuk Nana, lagi pula bila itu kenalan maupun sanak saudara Nana yang datang saat darurat, pasti ia akan mengelukan nama Nana atau marga keluarga nya saat mengetuk pintu. Tapi ini tidak, jangankan nama Nana, hanya teriakan tidak jelas yang terdengar mengiringi ketukan penuh emosionalnya. Nana membendung air matanya sekuat tenaga dan ingin berteriak rasanya. Nana bersumpah akan memeluk ibunya erat-erat saat ibunya kembali nanti. Ia sempat mengutuk dirinya sendiri karena bersikeras tidak mau ikut pergi bersama mereka. Inilah hasilnya, sendiri dalam ketakutan. Ingin menangis.

Amarah orang tersebut kali ini mencoba merusak apa yang ada dihadapannya. ini lebih mengerikan. Pot bunga pecah, lampu taman, kaca mulai jadi sasaran. Seperti membawa senjata atau alat lain, tidak tangan kosong. Nana tersentak dalam ringkuk selimutnya. Jelas semakin terasa, ketukan kasar pria, dengan sebuah benda tajam yang ia tancapkan kepintu.

Pagar rumah Nana hanya besi sederhana yang mungkin sejak awal mudah dilompati sang pria. Pintu rumah berupa kayu tak seberapa tebal. Bukan lah hunian kalangan mampu, tempat Nana berada sebaris komplek perumahan sepi.

Menjerit pada siapa bahkan Nana tak tahu. Kini terlalu menyeramkan, Nana tak berhenti mengirimkan pesan pada siapapun untuk memberitahukan keberadaannya. Hal yang mampu ia lakukan adalah teriakan melalui ketikan, sebuah jerit tanpa suara berharap seseorang datang menolongnya segera.

Display ponsel Nana mencanangkan sebuah window chat sang gadis dengan kekasihnya. Isi pesan Nana mulai tak beraturan sementara pemuda diseberang sana gagal menangkap apa kegelisahan hati Nana. Namun respon satu-satunya eksistensi yang Nana percaya tersebut, terus memberikan support jauh atas kestabilan emosi Nana dan tetap bertanya kejadian apa yang sebenarnya melanda kekasihnya.

Notifikasi ke khawatiran terus bermunculan, kekasih Nana mulai panik dan panik, akan keadaan gadis yang disayanginya, namun tak ada balasan.

Brutal membobol pintu rumah yang kini hanya seperti barang lunak bagi pria misterius itu, setelah cabikan pisau tangan menghiasi ruas kayu tersebut. Tendangan kasar dengan mudah membuatnya terbanting. Sebuah kepuasan sekaligus luapan emosi, telah memasuki rumah yang sedaritadi ia ketuk penuh amarah. Teriakan orang itu cukup besar menggema seakan dapat menghentikan jantung Nana.

Isi saran logika dari kekasih Nana adalah, ia harus mengunci pintu kamarnya erat-erat namun belum Nana gubris. Jangankan melakukan perintah tersebut. Kini jarinya kaku, mati rasa karena ketakutan yang luar biasa.

Tak satupun chat sang pemuda, Nana balas, meskipun sedang membuka window chat tersebut tanpa kuasa Nana tak mampu bergerak. Display sinar ponsel ia setting untuk selalu hidup sedari awal, memudahkan Nana membaca pesan tanpa harus selalu menyalakan. Itu berarti seberapa kalipun sang kekasih mengirimkan dentuman chat, akan selalu berada dalam posisi 'terbaca' dari seberang sana. Padahal tak satupun isi pesan pemuda itu yang masuk ke otak Nana, kini.

Mata nana terbelalak tanpa kedip bermenit lamanya, perih, airmata mengalir deras. Mungkin sedikit lagi Nana bisa hilang kesadaran atas guncangan shock mental yang luar biasa dahsyat.

Eksistensi brutal itu kini menyerang pintu kamar Nana, benarlah bahwa ia segera menelusuri satu demi satu ruangan dalam rumah, dan kamar Nana ada dipaling depan tepat setelah ruang tamu.

Seperti tak menemukan siapapun, dan apapun yang ia inginkan, kekejamannya semakin memuncak. Entah apa yang orang ini cari, sekarang ia sampai didepan pintu kamar Nana. Terasa sangat berat, napasnya memburu, pergerakan yang begitu dekat.

Nana tak mampu bergerak seinci pun, ia tak mengunci pintu membuat penyerang dengan mudah masuk, sasaran empuk. Dalam selimut Nana berdoa, tanpa berani melihat apapun diluar sana tak juga mengintip seperti apa rupa pelaku, naupun rumahnya yang porak poranda.

Nana terus memandangi layar ponsel tanpa notis kesadaran. Menyala begitu terang, display mengelukan chat panggilan sang kekasih pada Nana. Entah sampai pagi, atau bahkan sampai battrey telepon genggam tersebut habis, semua chat akan terus dalam posisi 'terbaca' padahal Nana sama sekali belum membaca semua kiriman tersebut.

Getaran tangan yang hebat, membuat tangannya diluar kendali, seketika benda datar tersebut tergeser jatuh merosot dari bedcover lembut Nana, benturan benda itu tepat ke lantai membuat sang pelaku menangkap eksistensi Nana, ada dikamar ini. Pikirannya melayang dalan ketakutan yang luar biasa, seperti patung membeku.

Semua terasa sangat mencekik, udara, kebisingan teriakan demi teriakan yang dikeluarkan pelaku, masih terdengar dalam ruang telinga Nana sampai seketika ia rasakan hantaman kuat menghujani tubuhnya, lagi, lagi, terus berulang kali, memar, tubuhnya hangat, lembab, darah segar bukan lagi menetes tapi mengalir.

Nana berteriak kesakitan, selimut Nana ditarik paksa, yang terakhir Nana ingat adalah benda tajam begitu dingin menyentuh lehernya hingga kepalanya kini bahkan tak terasa lagi hinggap ditubuhnya. Lalu, semua gelap.

—Oneshoot.
END

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang