Juna dan Amira masuk ke kamar Nata setelah Juna mampu menstabilkan emosinya. Juna juga sudah cuci muka. Dan hasilnya, wajah Juna tidak seberantakan sebelumnya.
"Abang.. Bunda sama ayah mana?" satu pertanyaan pertama yang diajukan Nata saat melihat Juna masuk kamarnya.
Juga sempat berhenti melangkah mendapati adikknya menatap Juna dengan mata yang sayu dan wajah yang pucat.
"Ayah sama bunda sepertinya pulang beberapa hari lagi. Karena ada urusan mendadak yang harus mereka selesaikan di Lampung. Bunda tadi udah nelepon abang." Juna berbohong
"Ko Bunda ga telepon aku aja?"
"Bunda ga mau ganggu istirahat kamu."
Sebelum Juna masuk ke dalam kamar Nata, Juna sudah memperingatkan Amira untuk tidak memberitahu Nata tentang orang tuanya.
"Aku mau, ini jadi rahasia kita berdua dulu. Aku ga mau Nata tahu disaat kondisinya seperti ini. Kita harus memastikan dulu apakah bunda dan ayah.."
"Iya. Aku paham." Amira buru-buru menyela ucapan Juna. Sangat paham bahwa Juna tidak ingin mengatakan hal yang memang tidak mudah untuk saat ini.
--LucidDream—
Lutut Nata gemetar hebat. Tak berdaya lagi untuk menopang tubuhnya sendiri. Sementara itu Nevin membantu Nata untuk duduk.
Nevin tidak bisa mencari tahu lebih dalam tentang Nata ke dalam matanya. Bukankah Nata sudah pernah bicara bahwa orang tuanya sudah tiada?
Nevin tidak mengeluarkan suara apapun. Hanya menatap Nata penuh pengertian dan dengan tangan Nevin yang bergerak menghapus jejak air mata di pipi Nata.
"Seandainya aja gua waktu itu pulang ke rumah. Semua pasti akan baik-baik aja. Gua ga akan kehilangan tiga orang sekaligus." Nata menghela napasnya, "Lu bisa bayangin kehilangan Satria aja udah bikin gua seperti mati rasa. Dan kemudian orang tua gua?"
Wajah Nata merah, begitu dalam kesedihan yang selama ini dia bendung. Nevin membawa Nata ke dalam dekapannya. Memeluknya erat. Membiarkan Nata menangis sesukanya di bahu Nevin.
Nevin melepaskan dekapannya kala Nata sudah mulai tenang, "Nat lu tau ga kalau ga cuma lu yang tersiksa dengan kepergian orang tua lu? Ga cuma lu yang merasa bersalah atas kepergian orang tua lu?"
Nata bergeming.
"Abang lu juga ngerasain hal yang sama, hanya saja bedanya Abang lu bisa mengontrol dirinya untuk tidak berlarut-larut menyesali apa yang udah terjadi. Bukannya Abang lu bertanggung jawab atas diri lu saat orang tua lu pergi ke Lampung? Orang tua lu amanahin Abang lu kan? Untuk jagain lu selama mereka pergi ke Lampung?"
Nata mengangguk samar.
"Abang lu pasti merasa bersalah saat ga bisa jagain lu saat itu."
Nata teringat suatu malam saat dirinya terbangun dari tidurnya. Beberapa hari setelah informasi bahwa orang tuanya dinyatakan meninggal. Nata yang pada dini hari itu tengah haus dan pergi ke dapur untuk mengambil minum mendapati Juna yang tengah duduk membelakanginya dengan bahu yang naik-turun. Nata sempat ingin menghampiri Juna namun enggan ketika menyadari ternyata Juna sedang menangis tanpa suara.
Nata sekarang mengerti mengapa malam itu Juna berada di dapur dan menangis dengan emosi yang tertahan.
Ketika Bunda masih ada Juna sering sekali terjaga pada dini hari. Jika Juna bangun dini hari pasti sebelumnya Juna tidak makan malam. Maka dari itu pasti Juna tengah lapar. Dan Bunda selalu tahu jika Juna bangun. Dan Nata pernah sesekali ikut terbangun pada saat Juna dan Bunda tengah bercengkrama di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUCID DREAM
General FictionBiarkan kerinduan itu mencari Melanglangbuana Mengembara dalam dimensi hening Untuk tahu kepada siapa Ia pantas ber-Tuan . . Awalnya bernafaspun masih terasa menyesakkan. Namun seketika semua berubah saat udara bisa dirasakan dengan cara yang lain. ...