Delapan : Sangat Rindu

44 14 1
                                    

Sedih. Tentu saja Disha sedih. Ketika ia harus meninggalkan orang yang belum lama ini mengisi hatinya dan menemani Disha selama ada di negara orang. Alaska, ah Disha tidak tahu harus bagaimana lagi dia mengutarakan kalau Disha rindu. Sungguh. Disha tidak mau meninggalkan Alaska.

Dengan style seperti biasanya, Disha hanya menggunakan Jeans dan sweater tak lupa juga sebuah Cardingan yang mungkin bisa melindungi Disha selama seharian lebih di atas udara.

Seharusnya sih ini menyenangkan, apalagi bagi Disha, orang yang suka liburan. Pasti menghabiskan waktu di udara itu seru, hanya saja meninggalkan kota yang memang sangat indah itu sulit, apalagi penghuni kotanya. Terlebih Alaska. Dan Grace tentunya.

Perjalanan dari Swedia menuju Indonesia --Disertai Transit-- itu sekitar 1 hari 5 jam sepuluh menitan, mungkin itupun tanpa delay. Ah ya, dengan Transit di Istanbul. Bisa-bisa Disha jadi gila ketika kembali ke indonesia, saking lamanya mengudara ia mungkin saja lupa bagaimana bentuk pohon. Ah, tidak, hanya bercanda.

Perjalanan dari bandara Arlanda, Swedia menuju ke ataturk airport (Istanbul) adalah sekitar 3 jam 20 menit. Memang tidak lama, tapi yang paling lama adalah waktu menunggu transit, bisa sampai 13 jam di Istanbul. Kalau diibaratkan dengan Indonesia, ketika di stasiun kereta api mungkin, Disha sudah membawa tikar, seraya menunggu pesawat siap ia tidur dulu. Pesawat? Di stasiun kereta api? Gila.

Ah tapi tak apa, anggap saja pengalaman seumur hidup sekali menunggu hingga belasan jam di bandara, siapa tahu bertemu bule tampan yang lebih dari Alaska. Ah dia lagi.

Kira-kira, Alaska sejak kapan sudah sampai ke Indonesia ya? Apakah dia tinggal di jakarta? Atau di daerah indonesia bagian lainnya? Aduh Disha harap tempat tinggal Alaska masih bisa di tolerir. Tidak jauh-jauh dari Disha. Kalau kata RAN, gakpapa jauh dimata asal dekat dihati, aduh seperti Disha tidak mampu.

Sulit Ldr. Apalagi seperti Disha dan Alaska ini, tanpa komunikasi sama sekali. Tanpa bertukar informasi nomor telepon. Bodo lah, Disha lelah berpikir tentang dia. Kira-kira disana dia berpikirkah akan Disha? Atau Disha cinta sendiri? Please, ini bukan Mas Anang ya. DISHA GAK MAU CINTANYA BERTEPUK SEBELAH TANGAN.

Disha menatap Jendela, mengamati awan yang menutupi indahnya lautan dan perkotaan yang membentang di bawah sana. Disha jadi galau kalau begini. Ingin membaca tapi tidak dalam mood yang baik, ingin mendengarkan musik tapi tidak sedang ingin untuk mendengarnya. Disha cuman penasaran dengan Alaska. Penasaran sungguh. Tentang dia yang rindu Disha kah?

Setelah membuka resleting slinbag-nya, Disha mencari sebuah Note kecil. Beserta pulpen. Seperti kebanyakan remaja lainnya, yang mencurahkan isi hatinya melalui selembar kertas dan sebuah pena. Karena ada kalanya tidak semua hal bisa diceritakan, ada juga hal lain yang cukup kita simpan dan tahu sendiri. Apalagi seperti hal sensitive begini, yaitu Ngalay.

Alaykah ketika kita mau mencurahkan isi hsti di sebuah buku diary atau selembar kertas?

Kalau bukan nulis isi hati emanh Disha bisa nulis apa lagi? Disha bukanlah seorang Komposer, bukan juga seorang pelukis, bahkan menggambar gunung saja biasanya pake mistar busur. Menggambar matahari pakai koin logam. Berpantun? Astaga ini kan romantis bukan ada acara nikahan yang pakai pantun.

Ya, Disha memang seperti ini. Tidak ada bakat.

Untung saja, tulisan jarinya bagus. Jadi tidak memalukan jika nanti akan dibaca oleh orang lain. Cukup masa lalu aja yang jelek, tulisan jangan.

Disini, jauh dari permukaan Tanah, aku menuliskan apa yang menjadi beban pikiranku sejak kemarin, sekarang dan tentu saja nanti. Aku tidak bisa melupakanmu begitu saja. Walaupun dengan pernyataan bahwa alasanmu kembali adalah karena Orang tuamu. Aku memakluminya, namun tidak bisakah kita bertemu dan melakukan perpisahan langsung. Misalkan dengan pelukan? Atau kata-kata perpisahan yang romantis saja? Ah tidak romantis juga tidak apa-apa. Asalkan kamu datang, berdiri di sampingku dan menjelaskan tentang kepergianmu.

Andai kamu bisa mendengar bagaimana bergemuruhnya hati ini..
Andai kamu bisa merasakan bagaimana cepatnya jantung ini berdetak..
Dan Andai kau bisa mengetahui apa yang kepala ini pikirkan..

Sayangnya, kau tak akan bisa mendengar, merasakan ataupun mengetahui semuanya.

Kau hanya bisa singgah di Ruang kecil ini, dan memberi warna sedikit lalu pergi meninggalkannya. Kau tak tahu bagaimana keadaan ruang ini sekarang, suram dan gelap. Warna yang pernah kau berikan dulu seakan menghilang mengikuti langkah kakimu yang entah berjalan tanpa tujuan yang kutahu.

Entah apa alasan jelas akan kepergianmu. Apa Kau sedang mencoba untuk mempercayai takdir? Itu adalah kewajiban bukan hal percobaan. Hanya Tuhan yang tahu tentang Maut, Rezeki dan Jodoh. Hanya Tuhan.

Aku selalu menyangkal, aku selalu berpikir dan bersiteguh kalau aku tidak mencintaimu sedikitpun. Hanya nyaman dan suka saja. Namun perlahan, Ketika aku berusaha menyangkal dan melupakan itu aku merasa bahwa aku jatuh semakin dalam. Dan menolak kenyataan itu sulit.

Memang, ketika kita siap untuk mencintai kita juga harus siap untuk patah hati. Rasanya tidak komplit kalau kamu hanya siap jatuh cinta dan tidak siap patah hati.

Prinsip gue sih, Cinta itu kayak hukuman mati. Kalau ngak di gantung ya di tembak. Gitu aja. Lucu kan? Haha.

Ah, ini kepanjangan. Tangan gue sakit. Eh aku mau kasih tau satu rahasia nih. Kalo sebenarnya aku juga malas nulis. Tapi demi kamu aku rela.

Makasih untuk dua hari yang penuh arti Alaska.

Btw.
'Good morning Alaska, Have a nice day, Now and forever. Although without me, your Oxygen.

I love you and i'm will miss you' :')

Salam sangat rindu 
Sahabatmu

Nadisha 💛

--

Meant to be Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang