"Kinar kok di sini, Budhe?"
"Dia pindah."
"Ke sini?"
"Iya, baru datang tadi pagi. Sekarang mungkin di kamarnya, beres-beres. Mau nyusul?"
Suara percakapan di luar kamarnya sayup terdengar, bersama alunan musik gendhing klasik dari ruang tengah, membuat gerakan Kinar yang sedang mengeluarkan buku dari dalam kardus tidak sesemangat sebelumnya.
Wajah itu terngiang begitu saja di benak Kinar, lengkap dengan ekspresi tak terbaca saat pertama kali ia membuka pintu. Kinar mendadak kalut sendiri, dia tidak sadar atas apa saja yang dia lakukan setelah melihat orang itu sebelum memilih kembali masuk ke dalam kamarnya. Termasuk tidak menyapa dan mempersilahkan masuk.
Kinar menyesal telah menawarkan diri untuk membuka pintu ketika bel berbunyi beberapa saat lalu.
Suara langkah mendekat membuat Kinar tersadar, Kinar sangsi jika itu adalah dia yang berani menyusulnya. Tiga detik kemudian pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok tinggi Budhe Rina yang membawa sebuah kardus kecil.
"Loh, belum selesai?" Suara halus Budhe Rina menyapa, langkahnya mendekat lalu kemudian menaruh kardus kecil itu di samping Kinar. "Kok langsung masuk kamar, Ki? Kan ada Juan."
Kinar melihat isinya, ternyata itu figura-figura foto yang sengaja ia bawa. Sebut Kinar menghindar dari Juan, karena ia merasa belum siap, dan bersembunyi mungkin ide bagus untuk saat ini.
"Biarin aja dia."
"Beres-beresnya cepetan, biar nanti malam kamu tinggal istirahat. Besok kan kita mau daftar ke sekolah barumu." Kata Budhe Rina sambil mengumpulkan beberapa robekan kertas kado yang berserakan. "Jakarta-Malang kan jauh, pasti capek, kan?"
Kinar mengangguk. "Rino udah tidur, Budhe?"
"Sudah, ada di kamar Budhe."
Kinar menghela nafas, mengingat wajah adiknya yang terlelap selama perjalanan mereka menuju ke sini waktu lalu, namun tiba-tiba ia malah kepikiran apakah Juan sudah pulang dari sini atau belum. "Juan tinggal di komplek ini juga, Budhe?"
"Iya, tapi dua blok lagi dari sini. Budhe kira kamu tahu." Kali ini Budhe Rina menumpuk kardus-kardus yang sudah tidak berisi.
"Dari mana aku tahu." Balas Kinar. Ia berjalan mendekati lemari untuk memasukkan pakaiannya ke dalam sana.
"Kalian kan suka bagi-bagi kabar."
Kinar menipiskan bibirnya. Budhe Rina memang tidak tahu bahwa kisah itu sudah lama ditinggal.
"Dia juga sering ke sini, beli kue-kuenya Budhe." Tanpa disuruh, Budhe Rina mulai bercerita. "Tadi itu dia ngambil pesanan dia, banyak banget. Katanya sih buat syukuran karena menang main sepak bola. Mungkin dia masih di dapur sama Bu Sri."
"Mas Kevin juga disini?"
"Kayaknya enggak, mungkin kuliah di luar."
Tidak ada lagi yang berbicara setelah itu. Kinar sibuk membenahi kamar barunya yang akan ia tempati entah sampai kapan, sedangkan Budhe Rina membawa beberapa kardus ke luar kamar.
"Nanti sisanya kamu yang bawa keluar ya. Jangan lupa disapu."
"Terima kasih, Budhe."
Tidak ada sahutan lagi dari Budhe Rina yang sudah hilang di balik pintu, meninggalkan Kinar sendiri lagi, dengan segala pikiran.
Sejak pertama kali memilih untuk menetap di Malang, sebenarnya Kinar sudah memikirkan kemungkinan apa saja yang akan terjadi, lengkap dengan cara mengatasinya. Namun dia tidak pernah menyangka bahwa ternyata memang benar, lebih sulit melakukan daripada merencanakan. Seperti ketika ia dipertemukan kembali dengan Juan, setelah semua hal yang sudah Kinar rencanakan untuk bisa melepaskan apa saja yang pernah ia miliki, yang sekarang telah pergi.
Namun sepertinya memang harus seperti ini. Berpisah lama untuk bertemu kembali?
Kinar menutup lemarinya. Menghampiri kardus kecil berisi figura-figura foto yang dulu ia pajang di meja belajarnya. Dia mengambilnya, memperhatikan satu persatu wajah dalam foto-foto itu, sebelum meletakannya kembali ke dalam kardus, dan memilih menaruh kardus itu ke kolong ranjang.
Belum apa-apa, ia sudah merindukan Ibu dan sahabat-sahabatnya.
Suara dari luar terdengar lagi.
"Nggak mau nyamper Kinar ke kamarnya?"
"Nggak usah, Budhe. Udah ditunggu yang lain nih."
"Oh, ya sudah. Hati-hati."
"Iya, Makasih, Budhe, Bu Sri. Hm, salam buat Kinar."
Kinar memang tidak melihatnya, tapi hatinya tetap saja menghangat, selalu begitu. Dia hanya tidak menyangka masih bisa merasakannya lagi. Tawa Budhe Rina terdengar sebentar, sebelum digantikan oleh suara deruman mesin yang terdengar, semakin jauh dan hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Build A Home
Teen FictionKinar tahu, Malang bukanlah tempat yang tepat untuknya memulai kehidupan yang baru. Namun suatu kejadian yang menimpa keluarganya mengharuskan Kinar dan adik satu-satunya menetap di sana, meninggalkan segala macam kehidupannya di Jakarta. Meski begi...