"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Olive. "Tidak, tidak ada." Kata Ara bohong. "Benarkah?"
"Ya."
Ia sedaritadi memikirkan Dion. Apa ia baik-baik saja disana? Apa proses terapinya dan operasinya lancar? Atau malah sebaliknya.
Lantas, Ara langsung menggelengkan kepalanya sambil meneteskan airmatanya. "Airmatamu jatuh tepat disebelah kiri, itu tandanya kau sedang sedih," ucap Olive datar.
"Ti-tidak, aku tidak sedih." Bantah Ara, Olive menghembuskan napas berat. "Aku yakin, ia akan baik-baik saja, Ra. Berdoalah semoga saja Tuhan mengabulkan doa mu, aku juga akan terus mendoakannya, ia temanku juga."
Ara kembali meneteskan airmatanya sambil tersenyum, "terimakasih, tetapi aku khawatir. Ia tak kunjung membalas atau menelponku kembali, sedang apa ia disana?"
"Mungkin ia sedang sibuk dengan berjalannya terapi dan operasinya," kata Olive mencoba untuk menenangkan Ara, tetapi gagal. Dua kata itu membuat Ara ingin cepat-cepat memeluk didadanya.
Tning!
Olive yang sedang sibuk mengusap bahu Ara untuk menenangkannya lantas berhenti untuk mengambil dan mengecek ponselnya, siapa yang memberinya pesan?
Saat ia membacanya, ekspresi wajahnya seketika pucat, pikirannya blank, tatapannya kosong. Hal itu membuat Ara mengerutkan dahinya bingung, "kau kenapa? Ada apa? Apa ada berita buruk?"
Olive terkesiap seketika saat tangan Ara menepuk bahu Olive. "Ah, ya? Tidak, tidak ada apapun, um lebih baik nanti kita ke toko buku saja, ada yang perlu aku beli."
Ara menaikkan alisnya sebelah sebelum mengangguk, ia nampak bingung dengan perubahan air wajah sahabatnya, apa yang terjadi? Siapa yang mengirim pesan pada Olive? Batin Ara.
-
"Memangnya kau ingin membeli apa? Sudah hampir dua puluh menit kita berada disini, tetapi kau tak membeli apapun, hanya sekedar melihat." Protes Ara, ya, ia orangnya sangat tidak bisa menunggu. "Sabarlah, aku sedang mencari sesuatu. Carilah novel yang kau suka, akan aku belikan."
Mata Ara seketika berbinar, ia ingin memeluk sahabatnya pada saat itu juga. "Terima kasih! Kau sahabat terbaik yang pernah ku kenal!" Ara langsung mencium pipi Olive singkat sebelum berlari ke rak buku yang bertuliskan fiction.
Olive yang melihat Ara seperti itu lantas menghembuskan napas lega sekaligus bersandar di rak buku yang berisikan comic.
Sebenarnya, Olive tak mempunyai niat sama sekali untuk membeli apapun di toko buku. Ia hanya mencari cara untuk menghindari topik itu saja.
"Olive!" Pekik Ara yang memegang buku novelnya diangkat ke udara sambil berlari kecil bak anak-anak yang sedang gembira karena dibelikan balon. "Ada apa?"
"Lihat! Aku menemukan buku ini! Sebenarnya covernya tidak terlalu menarik, tetapi aku tertarik dengan sinopsisnya."
Olive mengerutkan dahinya, sejak kapan Ara menyukai hal-hal yang berbau dengan horror atau mystery/thriller? Ah, biarkan lah.
"Sejak kapan?" Tanya Olive. "Apanya yang sejak kapan?"
Olive berdecak melihat sahabatnya yang tidak peka, "kau menyukai genre itu?"
"Itu apa?" Tanya Ara lagi. Olive mendengus dengan kasar, "horror atau thriller?"
"Oohh, entahlah. Aku hanya tertarik, bukan berarti aku suka, 'kan?" Tanya Ara sambil tersenyum senang.
Olive merebut buku yang dipegang Ara dari si empunya, lalu membaca sinopsisnya. Seketika wajahnya kembali pucat. "Pacarnya yang sudah meninggal?" Tanya Olive lirih.
Ara mengangguk dengan semangat, "ya! Sangat misterius sekali bukan? Lalu siapa yang mengirim surat di loker sekolahnya setiap hari? Uuuhh atuut!!" Kata Ara sambil tertawa.
Olive menelan salivanya dengan susah payah sebelum menjawab, "baiklah, ada lagi tidak yang kau inginkan?"
Ara menaikkan sebelah alisnya, "kau tidak beli apa-apa? Padahal 'kan kau yang mengajakku ke toko buku."
Olive hanya menggaruk pelipisnya, "aku sudah beli barusan, ayo kita ke kasir." Ucapnya bohong.
-
"Aku pulang!" Pekik Ara saat membuka pintu utama rumahnya. Tetapi, tidak ada jawaban sama sekali. "Mama? Papa? Apa kalian disana? Kak Jackson?"
Kakinya yang jenjang berjalan kearah kamar orangtuanya. Saat ia membuka pintu kamar kedua orangtuanya, tidak ada siapapun.
Kini ia berlari keatas dan menuju kamar kakaknya, namun hasilnya nihil. Mereka semua tak ada. Lalu mereka pergi kemana hingga meninggalkan Ara sendiri di rumah? Tanpa siapapun yang menemaninya.
Mendengus dengan kasar dan langsung melompat kearah kasurnya yang empuk, ia berdiam diri disana dengan tatapan kosong dan pikiran yang kemana-mana.
Mama papa kemana?
Kak Jackson kemana?
Aku sendiri.
Dion kemana?
Bagaimana prosesnya?
Apakah lancar? Atau tidak?
Pasti lancar.
Ia akan sembuh.
Ia akan cepat kembali.
Ia akan pulang dengan pelukan dan senyumannya yang hangat untukku.
Ia akan tetap mengenaliku, 'kan?
Sudah berapa lama ya kita berpisah?
Kau tak kunjung pulang juga.
Aku merindukanmu, sangat.
Seketika ponselnya bergetar menandakan ada telpon masuk. Ara berpikiran bahwa orangtuanya lah yahg menelponnya, atau Jackson, atau mungkin Dion. Tetapi ekspektasi selalu berbanding terbalik dengan realitanya.
Dia, si pemilik nomor asing.
Ara hanya diam melihat layar ponselnya hingga telpon itu mati dengan sendirinya. Saat sudah mati, ia langsung cek recents phone diallernya. Rata-rata hampir nomor asing tak dikenal berasal dari luar negeri. London.
Ara sendiri tak mengerti, orang tersebut menelponnya dengan nomor yang berbeda-beda. Sungguh, mungkin Ara akan memberi orang itu sebagai julukan 'this year: manusia anonim terniat 2017'.
Ia menggenggam erat ponselnya tersebut, tetapi langsung ada pesan masuk yang baru saja menelponnya.
Unknown number : jangan bosan-bosan padaku ya, aku sangat menyayangimu. X
H+1015
Kini kepalanya sakit karena ponselnyaterlepas dari genggamannya dan mendarat dengan mulus ke kepalanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
【✔️】 No Caller ID
Historia CortaNo description or summary, just read. Then comment how'd you feel after you read this story. Completed. Copyright reserved. 2017 No Caller ID © white-town.