PROLOG

13 0 0
                                    

Denting jarum jam di keheningan malam. Sorotan lampu kota yang mulai pucat karena gemerlap bintang. Juga tatapan hangat sinar sang bulan, yang membuat malam itu makin menusuk kedalam kulit.
Di atas dipan yang penuh akan ukiran tangan-tangan pengrajin, Bertutupkan selambu yang anggun nan mencolok. Aku mencoba untuk menghilang dan tenggelam kedalam mimpi yang indah, agar hari esok segera datang.
Masih terngiang akan peristiwa malam itu. Malam yang sangat berantakan, malam yang sangat aku sesalkan karena di situ aku terbangun dari tidur nyenyakku oleh kegaduhan. Benar, masih teringat jelas bahkan aku bisa mendengarnya sekarang ini.
Ku lihat kala itu jam menunjukkan jarumnya ke angka satu, menandakan telah lewat satu jam dari tengah malam. Namun karena suara teriakan keras ayah dari arah kamar ayah dan bunda membuatku merasa gelisah. Yang tak lama kemudian disusul oleh suara tangis bunda dari balik pintu coklat berukir bunga itu. Serasa dada ini sesak mendengar suara tangis sang pemilik pintu syurgaku itu, tersayat hati ini mendengarnya, seakan telingaku tertusuk oleh bara api yang panas. Tak kuasa menahan gejolak amarah ini, hingga air mata pun berlinang membasahi kedua pipi.
Masih tegak aku berdiri di depan kamar ayah dan bunda, sambil terus mendengarkan tangisan sang bunda. Hingga lambat laun tangisan itu pun berubah menjadi isakan yang tersendat-sendat. Semakin deras linangan air mataku mengalir, seakan diri ini ingin menjerit keras namun tertahan oleh sesuatu. hingga isakan itu pun hilang di telan malam yang kembali sunyi. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02.30 AM yang menandakan sebentar lagi sang fajar akan muncul, ayam akan berkokok dan kumandang adzan subuh akan bergema. Segera aku kembali ke tempat ku merajut mimpi untuk sejenak menenangkan diri dan berharap semua itu hanyalah mimpi.

***                                  

SAHABAT SURGAKUWhere stories live. Discover now