Aku pulang ke rumah dengan lesuh. Berat yang pernah sirna sebentar kini kembali lagi saat aku menginjakkan kaki di lantai marmer rumahku.
Sesak. Jika dulu akan ada seorang ibu yang menceramahiku panjang lebar karena menemukan foto boyband korea yang dibilangnya sangat tidak penting untuk ku kumpulkan. Lalu ada seorang adik yang akan tertawa bahagia melihatku diceramahi.
Tapi, yang menyambutku kali ini adalah kekosongan. Hanya sekumpulan udara yang menyesakkan. Kenapa harus sekarang? Kenapa?
"Jangan berdiri di depan pintu terus. Masuk!" suara dingin terdengar di telingaku. Itu ayahku. Dia tidak menatapku. Aku lebih memilih tatapan tajam yang menghujam daripada di anggap orang asing.
"Assalamualaikum." aku memasuki rumah. Melangkah ke arah kamarku yang memang di lantai satu. Aku berbaring di ranjangku. Di depanku ada dinding yang sudah aku rubah menjadi kanvas. Guratan wajah ibu, aku, adikku, dan ayahku yang mulai pudar karena sudah lama aku melukisnya. Ah, tidak. Bukan hanya aku yang melukisnya, aku melukisnya bersama ibuku. Seorang ibu yang entah apa yang tidak beliau ketahui dan tak bisa. Terlalu sempurna menjadi ibu.
Ya Tuhan, berikan aku air mata yang dapat membawa sesakku ikut keluar. Aku merasakan nyeri melihat senyum-senyum di depanku. Karena kebodohanku, aku kehilangan senyum itu.
Aku memejamkan mataku. Mataku panas tapi air mata itu tidak berhenti. "Masih tidak mau mengakui kesalahanmu, Sa?" aku membuka mata. Mendudukkan diri dan melihat ke arah pintu. Ayah.
"Aku gak salah, ayah." Ayah mendecih. Dia melempar sebuah kartu. "Ini apa, yah?" aku melihat aneh ke kartu kredit di di tanganku.
"Itu untukmu. Oh, ya. Lebih baik kamu membeli pakaian seperti dress karena dua hari lagi ayah akan menikah." aku membelalak.
"Ayah tidak meminta persetujuan Lessa." aku menahan geram.
"Memangnya ayah perlu? Kamu sudah merenggut kebahagian ayah, jadi ayah tidak perlu kamu untuk memutuskan kebahagiaan ayah." aku menghempaskan tubuhku ke ranjang lagi. Kenapa tidak mengusirku saja?
Aku melenggang ke kamar mandi. Melepas semua penutup tubuhku. Memasukkan tubuhku ke bathup. Aku merendam tubuhku dengan air hangat.
Memejamkan mata adalah hal yang paling ku sesalkan karena aku kembali ke kenangan menyakitkan yang tak ingin aku ingat.
Flashback.
Aku tertawa senang bersama Dean adikku. Dia perempuan yang cantik. Matanya besar, hidungnya tidak terlalu mancung, bibirnya tebal. "Ayah, Dean mau makan mi instan." aku menoyor kepala Dean. "Ih, kakak apaan, sih?" dia memasang wajah garang dengan mengusap kepalanya.
"Makan mi instan mulu, gak sehat tahu." aku menyender di sandaran kursi penumpang. "Lagian, enakkan juga mi ayam." aku menyengir.
"Ha-ha." dia menggaruk telapak tangannya karena leluconku yang datar. "Gak lucu. Kakak gak cocok jadi pelawak. Bagusan juga jadi penjaga perpustakaan, baru cocok sama muka suram kakak." alu menggeplak kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku
Teen Fiction60% diambil dari kenyataan 40% cuma khayalan author. Aku bukan dia Aku bukan kamu Aku bukan temanmu Aku bukan ibumu Aku ya aku