Dua...

13 2 0
                                    

Haloo... Aku Priska. Kuakui aku memang tidak begitu cantik, tapi cukup menarik. Aku menyukai hujan sekaligus membencinya. Kenapa? Karena ia meneduhkan, tetapi membawa banyak kenangan. Pada pojok-pojok awan kelam.

Aku bercermin dan mendapati bayanganku dalam balutan jilbab ungu muda dengan kaos warna senada motif garis-garis dan jeans biru navy. Aku begitu bersemangat pagi ini, bukan hanya karena Edi akan menjemputku dan mengajak ke tempat bekerja, tetapi juga karena semalam mama tidak menggerutu setelah mendengar ceritaku tentang Edi via telepon. Biasanya, mama selalu mengomentari hal-hal kecil yang tidak enak didengar tentang pria yang sedang mencoba mendekatiku. Apakah ini lampu hijau untuk hubunganku dengan Edi? Aku melihat bayanganku di cermin tersenyum, kemudian menggeleng. Aku baru mengenal Edi dan bahkan belum mengetahui perasaan pria itu padaku. Bagaimana jika Edi hanya bersimpati karena kasihan atau hal lain?

"Nduk, cowok yang semalem nganter kamu udah nunggu di depan" kata nenekku. Disini, aku memang hanya tinggal bersama nenek karena aku hijrah sendiri. Keluargaku masih tinggal di Bekasi sementara kakek sudah meninggal.

"Inggih mbah. Kulo ajeng pamit riyen" ucapku yang artinya kurang lebih mengiyakan dan mohon pamit.

Setelah berpamitan, motor Edi melesat di jalan kota Yogyakarta yang masih lengang. Lima belas menit aku salah tingkah setiap Edi mengerem mendadak motornya atau menemui jalan berlubang sebab aku masih canggung untuk berpegangan di atas motor dengan pria itu.

"Kita udah sampai, ini tempatnya" Edi memarkir motor di depan bangunan mungil dengan desain yang cantik dan rindang. Aku mengamati sekeliling.

"Ayo masuk" Edi menggenggam tanganku setelah melepas helm. Pandanganku tertuju pada pintu bangunan yang di bagian atasnya terdapat tulisan "POHON (POjok Hiasan SablON)". Sedetik kemudian, aku melihat pria dengan tinggi, usia, postur tubuh, dan tingkat ketampanan yang sama dengan Edi. Secara fisik yang terlihat berbeda adalah raut wajah dan warna kulit mereka, Edi berkulit legam kecoklatan sementara pria itu berkulit putih. Aku yakin bahwa pria itu adalah teman yang Edi ceritakan kemarin, aku pun menatapnya dan tersenyum sopan, tanpa melepas genggaman tangan Edi.

"Pagi, Ed. Coba kutebak. Gadis ini pasti yang kamu ceritain semalam lewat telepon. Siapa namanya?" pria itu menyapa Edi tanpa mengindahkanku di sebelahnya. Acuh dan menyebalkan.

"Priska" jawab Edi.

"Oke, Priska. Kenalin, aku Indra. Kita bisa mulai kerja sekarang. Ada banyak laporan numpuk yang harus diselesaikan. Aku gak punya banyak waktu buat ngajarin kamu. Kuharap kamu cepet ngerti" ujar pria bernama Indra yang masih terus memandangi tanganku dan Edi yang saling menggenggam sampai masuk ke ruangan.

***

Adakah (Rasa) yang Salah?Where stories live. Discover now