"Pergilah kasih, kejarlah keinginanmu. Selagi masih ada waktu. Jangan hiraukan diriku. Aku rela berpisah demi untuk dirimu. Smoga tercapai sgala keinginanmu." - Pergilah Kasih by Chrisye.
---
Jakarta,
14 Oktober 2009.Matahari bersinar terik. Menghantarkan hawa panas keseluruh Jakarta. Membuat banyak orang memproduksi keringat berlebih. Juga memproduksi bau badan berlebih.
Tau Jakarta akan sepanas neraka, Bara duduk manis didalam cafe bernuansa inggris yang adem karena terdapat pendingin ruangan. Didepannya sudah tersedia secangkir cappuccino dan nasi goreng seafood. Kepalanya menunduk lesu. Sambil sesekali menghela napas berat.
Sebenarnya ia tak memiliki inisiatif sendiri untuk kemari. Ia sedang menunggu seseorang dan membuat janji di cafe yang memang sering mereka datangi.
Suara bel yang berbunyi ketika pintu cafe dibuka membuat Bara mengangkat kepalanya semangat. Benar saja, orang yang ia tunggu sudah datang. Dengan dress selutut berwarna salem. Membuat gadis itu terlihat cantik.
Mata gadis itu agak mencari-cari sebelum akhirnya mata mereka bertubrukan. Gadis itu tersenyum kecil lalu berjalan menuju meja Bara. Tanpa disuruh ia menghempaskan bokongnya didepan Bara.
"Makan, Vi?" ujar Bara dengan suara beratnya yang khas.
Evi, gadis itu menggeleng. "Minum aja, Bar."
Evi mengangkat tangannya. Menyuruh pelayan datang. Tak lama kemudian seorang pelayan datang dan mencatat pesanan Evi sebelum kembali pergi. Bara tersenyum mendengar Evi memesan jus mangga. Kesukaannya sedari dulu.
Mereka hening sesaat. Membiarkan sunyi merasuki diri mereka. Bara merasakan hatinya memanas. Dan Bara yakin Evi juga merasakan hal yang sama.
"Jadi kamu lusa akan pergi?" Evi mengangguk sebagai jawaban.
Bara mendesah pelan. Ia membasahi bibir bawahnya sembari mencoba menahan diri.
"Kenapa baru bilang?" lanjut Bara.
"Aku takut kamu bakal marah, bakal sedih. Bukannya kamu pernah bilang jika suatu saat nanti aku dapat beasiswa itu kamu akan bahagia walaupun sedih harus jauh dari aku?" balas Evi.
"Dalam konteks kamu engga memutuskan hubungan ini, Evi. Dalam konteks kita masih bersama walaupun harus menahan rindu."
Pelayan tadi datang membawa pesanan Evi. Membuat percakapan mereka terhenti sejenak sampai pelayan itu pergi.
"Long distance relationship bukannya gampang, Bar. Apalagi aku disana bukan wara-wiri gak jelas. Aku belajar. Menuntut ilmu, Bar. Aku cuma takut perhatian aku bercabang," ujar Evi.
"Alasan!" sambar Bara emosi.
Evi menghela napas. Ia membuang muka kearah lain.
Hening kembali bangkit diantara mereka yang sedang berkutat dengan pikiran masing-masing.
"Apa yang mendasari kamu buat ikut beasiswa sekolah lukis di London itu?"
Evi menoleh. Ia menyematkan rambutnya yang jatuh menutupi mukanya kebelakang telinga.
"Kamu tau kan kalau aku suka melukis. Aku juga mau jadi pelukis," jawab Evi.
"Aku rasa kamu tau maksudku bukan itu. Di Indonesia banyak sekolah lukis. Kenapa harus jauh-jauh ke London sana?"
"Ini impianku, Bar. Aku mau jadi pelukis handal. Di Indonesia belum ada sekolah yang memiliki pembelajaran seperti yang ada di London. Jika aku kesana, lalu aku mendapat ilmu disana, aku bisa membuat sekolah lukis di Indonesia dan mengajarkan teknik yang aku dapat disana."
Evi menyeruput jus mangganya untuk mendinginkan tubuhnya.
"Aku mau jadi seperti Leonardo da Vinci atau pelukis hebat lainnya. Aku mau jadi seperti Thomas Alfa Edison atau penemu lainnya. Aku mau jadi seperti Chrisye atau penyanyi legendaris lainnya. Aku mau jadi seperti Ir. Soekarno atau kepala negara yang dihormati lainnya. Aku mau berguna dan dikenang sepanjang masa. Aku mau kesana agar lukisanku bisa lebih baik. Aku ingin lukisanku bisa dikenang orang."
Aku ingin menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Dan aku cuma ingin fokus ke itu. Aku cuma ingin mewujudkan mimpiku. Mimpi yang bukan sekarang-sekarang ini aku punya. Tapi mimpi yang sedari kecil aku bayangkan."
Bara menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tersenyum kecil.
"Kamu lebih keliatan seperti terobsesi. Terobsesi dikenang sepanjang masa dan terobsesi menjadi orang yang berguna. Jadi itu mimpi apa obsesi?"
"Keduanya. Mimpi dan obsesi."
"Dan kamu mengejar itu semua dengan melepaskan genggaman tanganku?"
Evi menunduk sejenak sebelum akhirnya mengangakat kepalanya dan membalas tatapan tegas Bara. "Iya."
Bara tersentak kecil. Tiba-tiba sebuah tangan mencubit hatinya hingga rasa perih mendera. Pemuda itu tersenyum miring.
"Jika kamu pergi dengan membawa mimpi, obsesi, dan hatiku, apakah kamu akan pulang membawa itu semua?"
Evi tertawa kecil. "Aku tidak membawa hatimu, Bar. Aku tinggalkan dia disini kembali kepada pemiliknya. Aku biarkan kamu memilih siapa yang pantas untuk kamu beri hatimu."
Bara mengangguk pelan. Ia mendesah kecil. Merasa tak rela melepaskan gadis ini.
"Entah apa yang kamu cari. Apakah mimpi atau obsesi? Tapi yang jelas, aku tetap menunggu. Sampai nanti semua yang kamu cari sudah tercapai, dan memutuskan kemana kamu akan pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Go On [ONE SHOOT]
Short Story"Entah apa yang kamu cari. Apakah mimpi atau obsesi? Tapi yang jelas, aku tetap menunggu. Sampai nanti semua yang kamu cari sudah tercapai, dan memutuskan kemana kamu akan pulang."