08. Izinkan aku berharap

432 36 0
                                    

Pagi ini,  Edvan menjemputku bersama beberapa teman lainnya menggunakan mobilnya. Ingin sekali aku bertanya apakah dia ada di sini? Namun, gelengan Edvan seakan memahamiku membuat wajahku langsung lesu. Dia membukakan pintu bagian belakang, sedangkan yang di depan di isi oleh tunanganya. Kebetulan dia adalah teman satu kelas kami. Edvan yang cenderung tegas dan juga galak ternyata bisa juga menaklukan hati perempuan. Cocoklah dengan Diana yang notabenya sedikit cerewet dan ketus juga.

"ALUNA!!!" Astaga! Aku terkejut luar biasa kala ingin masuk. Widi dan Desi berteriak memanggilku dengan suara cemprengnya seakan bertemu dengan artis kesayangan sekelas Justin Bieber. Mereka menarikku ke dalam mobil dengan paksa. Edvan hanya menggeleng, menutup pintu mobil sebelum dia memasukan tas-ku pada bagian paling belakang Mobil.

Berbeda dengan Diana, gadis itu hanya menyapa santai.
Yah.. meski kami bukan sahabat karib, setidaknya hubunganku bersama mereka cukup pantas dikatakan sebagai teman baik semasa SMA.

Selama di perjalanan menuju Bogor, aku mulai jenuh. Desi dan Widi menutup matanya karena jalanan yang macet. Diana memilih untuk tetap membuka mata, mengajak Edvan bicara agar laki-laki itu tidak jenuh selama menyetir.

Dari balik jendela kaca aku menatap langit mendung yang bergumul, bergerak perlahan menutupi matahari. Apakah langit mendung selalu menandakan akan turun hujan? Kali ini, aku mencatat dalam hati, mencoba memprediksi jika langit mendung tidak akan menjatuhkan jutaan air matanya ke atas tanah bumi.

Aku mengeluarkan earphone, memasangkannya pada kedua telingaku. Kubuka galeri penyimpanan musik guna mencari-cari salah satu judul lagu. Jemariku terhenti pada lagu berjudul 'Lumpuhkanlah Ingatanku.'

Aku masih mengingat baik kapan lagu ini rilis. Tepatnya saat semua mulai berubah. Saat di mana dia yang tak pernah lagi memandangku, memberikan senyuman secerah mentari pagi, dan juga usapan tangannya yang jahil.

'Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia. Hapuskan memoriku tentangnya. Hilangkanlah ingatanku, jika itu tentang dia....'

Yah, bertahun-tahun lagu ini tersimpan baik pada memori ponsel, sedangkan dia, tersimpan dalam memori otakku. Jika pun pada akhirnya lagu ini hilang, berbeda dengan semua tentang dirinya.

"Apa dia akan datang?" tanyaku tiba-tiba. Edvan melirikku dari kaca mobil.

"Dia pasti datang."

"Jangan mengatakan pasti jika kamu tidak begitu yakin, Van." Aku mengeratkan sweater yang kukenakan, sedikit memepetkan tubuhku ke arah pintu mobil. Aku tidak mau lagi memepercayai kata pasti, karena selama ini aku bahkan masih menunggu di dalam ketidak pastian akan perasaan seseorang. Ternyata benar, menunggu itu melelahkan. Terlampau lelah tapi tetap dilakukan.

Hamparan luas perkebunan teh berwarna hijau menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Ada yang memilih turun untuk sekadar mengambil gambar. Ada juga yang memilih tetap berada di dalam mobil, menunggu dengan sabar. Aku adalah salah satu dari jajaran orang-orang yang memilih untuk tetap berada di dalam mobil.

Aku malas keluar, apalagi meminta Edvan memberhentikan mobilnya. Tidak ada gunanya. Semua yang terasa indah seperti hanya sebuah kehampaan yang kurasakan.


"Ardan. Bolehkah aku berharap agar Tuhan memepertemukan kita kembali untuk menjawab segala pertanyaan ini?"

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang