19

2.4K 97 0
                                    

Bima sedang menemani Nana dikamar. Terlihat raut wajah khawatir dari wajah tampan Bima.

Sesekali mengecek suhu Nana yang masih panas dan mengompresnya dengan air dingin.

"Lo kok bisa gini sih, Na." eluh Bima.
"Maaf ya semalem terlalu lama gue bawa lo diluar." sesalnya.
Nana menggeleng,
"Enggak, Bim. Lo nggak salah." elak Nana.

"Gue bawa kerumah sakit ya?" tawarnya.
"Nggak usah, gue pasti cepet sembuh. Cuma demam biasa doang." tolaknya.
"Tapi gue nggak mau liat lo begini terus, Na. Gue pengen lo sembuh kaya semula." keukeuh Bima.

"Tapi, Bim--"
"Lo sayang kan sama gue, kalau lo sayang, lo harus turutin apa kata gue." sungut Bima.
"Gue cuman nggak mau ngerepotin elo dan yang lain." lirih Nana.

Bima pergi keluar sambil menekan-nekan ponselnya lalu menempelkannya ketelinga kanannya.

"Gimana Nana?" tanya Bella.
"Gue lagi nelpon dokter pribadi yang rumahnya deket dari sini." jawab Bima masih keadaan menelpon seseorang.

"Kita bawa aja kerumah sakit." Bima menggeleng.
"Dia nggak mau. Gue udah bujuk dia, tapi dia keukeuh nggak mau. Gue mau panggil dokter aja kesini." terang Bima frustasi.

*
*
*

"Gimana, dok keadaan Nana." tanya Bima khawatir.
"Nana hanya demam biasa, cukup istirahat dan minum obat dari saya ya. Dalam hitungan jam akan membaik seperti semula." jelas Dokter Fanny, dokter pribadi Bima.

"Terimakasih ya, dok." ucap Bella.
"Sama-sama. Kalau begitu saya pergi dulu. Ada pasien lain yang harus saya obati." pamit Dr. Fanny.

Malamnya Nana sudah terlihat baikan walaupun sesekali masih terasa kedinginan.

Bima memakaikan jaket tebalnya pada tubuh Nana agar hangat. Dan menggenggam tangannya lalu meniupnya.
"Gimana hangat?" Nana mengangguk.
"Makasih, Bim. Lo udah nemenin gue sampai gue sembuh." ucap Nana tulus.

Vania dan Nathan datang membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih dan teh serta obat yang sudah dibeli oleh Bima.
"Waktunya makan, Na." tutur Vania.
"Jangan lupa minum obatnya. Kalau lo nggak minum bisa-bisa gue yang diomelin cowok lo." gerutu Nathan.

Nana mengerutkan dahinya.
"Maksud lo apa?" Nana bingung.
"Dari kemarin lo sakit, Bima frustasi mikirin lo nggak sembuh-sembuh. Gue saranin sabar dan terus temenin lo, dia malah marah-marah nggak jelas." sungut Nathan melirik Bima.

"Bima khawatir banget pas kamu sakit, Na. Dia frustasi ngeliat kamu sakit." ujar Vania.

Nana menoleh kearah Bima yang sedang menatapnya lalu mereka tersenyum.
"Sekarang waktunya sarapan dulu abis itu minum obat lo." perintah Bima.

Nana mengangguk, lalu Bima menyuapkan buburnya sedikit demi sedikit kemulut pucat Nana. Nana bergidik.
"Pahit, Bim." keluhnya.
"Ditahan dong, daripada lo nggak makan. Lo mau sakit lagi? Mau bikin gue khawatir lagi?" cecar Bima.

Nana takut Bima marah padanya. Karena Nana tau jika Bima sedang marah. Nyeremin, katanya.
Nana hanya menurut pada Bima yang menyuapinya.

"Sekarang minum obatnya." Bima mengambil beberapa obat dan air putihnya.

Dengan cepat Nana menelan semua obatnya lalu meminum air putihnya hingga tersisa setengah.
Bima tersenyum melihatnya lalu mengelus elus keningnya.

"Lo istirahat ya sekarang. Biar obatnya kerja, terus lo sembuh deh." Bima menggenggam tangan Nana. Nana mengangguk. "Temenin gue sampe tidur ya, Bim." Bima mengangguk cepat.

*
*
*

"Syukur deh Nana udah mendingan sekarang." syukur Vania tersenyum lega.

"Yaiyalah gue yang setia jagain dan ngerawat tauk." ujar Bima bangga.

Nathan dan Vania[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang