BAB 19

8K 383 0
                                    

Pertemuan antara dirinya dan Raga sudah berkahir sejam yang lalu. Kini, ia telah berada di rumahnya, terbaring di atas kasur dengan pikiran yang melayang-layang pada kejadian yang masih segar diingatannya. Semua yang disampaikan Raga, terus berputar dalam benaknya. Akalnya sulit untuk mempercayai apa yang tadi ia dengar. Namun di sisi lain, Raga tidak mungkin berbohong tentang hal seserius itu.

Ia sadar jika, setiap kejadian dalam hidup seseorang merupakan skenario yang telah diciptakan semesta untuk dilakoni oleh sang pemilik. Namun, terkadang skenario itu terasa begitu mustahil untuk diterka oleh nalar manusia. Semua bagaikan mimpi, aneh namun nyata dirasa. Bryan memejamkan matanya, dan dalam sekejap memori itu kembali terulang.

“Gue udah sebulan lebih nggak bicara sama Allamanda.”

“Alasannya?”

Raga menghela nalas berat. “Gue tahu, ini terdengar sedrama itu bahkan terlalu mustahil kejadian di dunia nyata. Tapi, gue sayang sama Allamanda. Wajar kan? Memang, jika rasa itu tidak berubah alih menjadi rasa sayang antara laki-laki terhadap perempuan. Gue nggak tahu sejak kapan rasa ini timbul. Gue merasa gagal menjadi kakak yang baik buat dia.” Bryan shock. Apa ia tidak salah dengar?

“Lo serius? Jujur Bang, tapi itu sulit untuk gue percaya.”

“Gue tahu, bahkan gue sempat ragu untuk itu. Tapi, semua itu menjadi jelas ketika gue melihat Allamanda dan Samuel. Rasanya ada yang aneh, seolah gue nggak rela lihat Allamanda tersenyum sama dia. Dan, gue baru menyadari jika gue cemburu.”

“Terus, alasan lo menjauh? Apa semua itu, untuk mengubur rasa yang lo miliki sama Allamanda?”

Raga mengangguk. “Lo bener. Semua sikap gue, adalah hal yang gue lakukan untuk menghilangkan rasa keparat itu. Tapi hasilnya? Sia-sia. Dia terluka, dan gue lebih dari itu. Sekarang, gue merasa benar-benar hampir gila.” Bryan melihat sendu serta lelah yang tergambar jelas di manik cokelat tua itu. Raga sudah ia anggap sebagai kakaknya, dan ia bisa merasakan apa yang kini laki-laki di depannya itu rasakan.

“Apa Allamanda tahu?”

Raga menggeleng lemah. “Nggak. Gue takut, Yan. Gue takut dia benci sama gue, gue takut dia malu punya kakak seperti gue. Gue setakut itu. Tapi di sisi lain, gue nggak bisa menyimpan ini selamanya. Sepandai apapun gue menyembunyikan, suatu saat pasti akan terbongkar.”

“Jujur, semua ini di luar nalar gue. Gue nggak pernah tahu, lo berdua punya skenario hidup serumit ini. Tapi Bang, menurut gue, mungkin mengatakan semuanya adalah pilihan terbaik. Allamanda mungkin akan sakit diawal, tapi itu lebih baik dibanding dia harus menemukan fakta itu sendiri dan, rasa sakit yang dia rasakan akan jauh lebih hebat dibanding lo terus terang sama dia. Gue tahu, gue masih bocah cuma, opini gue mengatakan itu adalah pilihan terbaik saat ini.”

“Menurut lo gitu?” Bryan mengangguk yakin.

Thank’s untuk saran lo. Tapi, masih ada satu hal yang ingin gue sampaikan.”

“Apa?”

"Tante Dara, nyokap gue sakit. Gue nggak pernah tahu sebelumnya, semua itu bermula ketika gue dan Allamanda menemukan bunda yang pingsan di taman belakang dengan tangan yang mengeluarkan darah segar. Dokter yang memeriksa bunda adalah teman karibnya dan dia menyarankan untuk memindahkan bunda ke rumah sakit besar di Singapura. Bunda mengidap kanker darah, stadium akhir.” Jantung Bryan rasanya dipukuli oleh benda berat nan tajam, seorang wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri, seseorang yang selalu membelanya ketika ibunya sendiri memarahinya, kini mengidap penyakit mematikan dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang ia mengerti kenapa setiap kedatangannya di rumah Allamanda, senyum wanita itu tak pernah lagi ia temui.

Bad Boy Love Cold GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang