Dag...dig...dug....
Begitulah kondisi dadaku saat menatap matanya setelah mendengar pengakuan itu. Seperti tidak menyangka jika dia akan begitu gigih mendapat kepastian dariku. Sedangkan aku belum siap untuk memberi jawaban itu. Bagaimana ini?"Ah, iya aku setuju dengan pendapatmu tentang jangan pernah menyesal mencintai seseorang. Karena kalau sampai pernah melakukan itu, aku yakin orang berikutnya pasti cuma jadi pelarian masalalu iyakan." jawabku sekenanya sembari menutupi rasa gugup yang mulai menyergap hatiku.
"Benar, tapi apa hanya itu...?" tanyanya sembari menatap kedua bola mataku dalam-dalam
Lalu aku mulai memutar bola mataku kian kemari. Berharap itu bisa mengurangi barang sedikit perasaan gugup yang aku alami. Sebab iya, aku tahu ini sulit. Tapi bagaimana cara menyampaikan perasaanku kalau aku belum siap untuk masuk ke arah ini. Walaupun aku mau, aku hanya perlu waktu mengenal hatiku sedikit lagi.
Karena aku merasa perlu meyakinkan diriku sungguh-sungguh siap menerima segala kemungkinan terjadi. Termasuk Nathan yang pada akhirnya bisa jadi tidak bisa menerima diriku seandainya dia tau aku seorang pribumi. Sejujurnya bayang-bayang ketakutan itu masih terus menggelayuti diriku hingga saat ini.
Sampai akhirnya aku mencoba memberanikan diri membahas sedikit topik yang agak sensitif ini.
"Ya, sebenarnya nggak itu aja sih. Aku pikir halangan terbesar orang untuk bisa bersama terkadang karena perbedaan warna kulit." kataku.
"Iya, itu bisa saja karena pengaruh sinar matahari." katanya santai
"Eh, bukan itu maksudku...."
"Kalau bukan itu lalu apa?" tanyanya.
"Iya, memangnya perbedaan itu hanya sekedar pengaruh sinar matahari? Bagaimana kalau itu bawaan genetik. Kamu paham maksudkukan?" tanyaku.
"Iya, paham. Tapi itukan kuno, itu tidak membuat orang jadi menjauhkan diri. Karena aku kira hidup itu pembelajaran, dan kalau memang alu dipertemukan dengan yang berbeda warna kulit. Aku rasa itu sebenarnya baik selama keduanya menyadari pentingnya memahami perbedaan, dan justru aku rasa orang tidak akan pernah bosan karena selalu ada hal baru yang bisa kamu temui dalam diri pasanganmu." katanya
"Entahlah Than, aku sendiri masih sangsi dengan pendapatmu. Apa benar akan semudah itu. Karena ya, jujur itu akan sulit mengingat kamu pasti perlu doa restu." kataku
"Doa itu suatu yang baik, aku rasa kalau kamu mau menjalani itu dengan baik. Maka mulailah segala sesuatunya dengan baik. Seperti jujur mengatakan apa yang sebenarnya kamu rasa."
Katanya memancing"Rasanya bingung. Jujur aja sulit buat percaya. Karena yah... Itu bukan sesuatu yang mudah."
"Iya, tahu hanya sampai kapan orang sanggup menyangkali isi hatinya. Kalau memang itu yang dia rasa, diungkapkan saja karena hal itu bukanlah suatu keberdosaan." katanya menimpali.
"Aku, hanya merasa perlu waktu untuk menerima pendapatmu. Walaupun aku akui itu memang benar. Tapi setiap orang memang perlu fasenya agar bisa menjalani hal itu secara sempurna." kataku.
Sembari berusaha menglihkan pembicaraan pada topik lain, dengan harapan bisa meredam gejolak di hatiku. Sungguh keputusan yang keliru mengangkat topik ini. Karena aku sendiri belum siap menghadapi kemungkinan "ditagih" kepastiannya lagi.
Sedang aku hanya bisa berharap saja semoga, dirinya tidak mengira aku menarik ulur perasaannya. Aku hanya belum bisa sepenuhnya yakin dan menerima pemikiran ini secara utuh. Aku masih belum bisa memaafkan masalalu yang maaf sebenarnya tak pantas aku jafikan alasan untuk menolak ketulusannya.
Namun salahkah jika memang aku butuh waktu?
Gimana? Seru nggak ya tarik ulurnya. Pernah mengalami hal yang sama? Tolong bagi vote dan komennya ya.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Pasangan Kopi
Literatura FemininaCerita seru yang bikin nggak berhenti mempertanyakan apa itu cinta. Private acak buat nambah follower. Bersatunya dua insan itu ibarat kopi susu. Kopi mungkin terasa nikmat dengan pahitnya, susu terasa nikmat dengan gurih dan legitnya. Begitu pula s...