Assesmen (2)

76 10 13
                                    

Author's POV

"Siapa? Siapa yang bilang Faqih bodoh?"

"Mama," jawaban itu membuat Farah tertegun.

Mama.

Farah menghapus cepat air mata di pipinya. Hatinya teriris mendengar pengakuan Faqih. Mama. Orang yang begitu penting dalam tumbuh kembang seorang anak. Guru pertama bagi seorang anak.

"Tidak Faqih. Faqih tidak bodoh. Faqih pandai, Faqih pintar," suara Farah bergetar oleh tangis.

Faqih menoleh, "Tidak. Faqih bodoh."

Air mata Farah turun lagi. Betapa sakit hatinya melihat anak di hadapannya. Menjadi anak autis mungkin sudah cukup berat bagi Faqih, tanpa perlu ditambah beban keluarganya yang ternyata belum menerima kondisinya.

Farah menarik tangan Faqih. Memegangnya erat. Berusaha menahan emosi. Berusaha menenangkan dirinya yang terguncang. Tidak, Farah tidak berlebihan. Mungkin kalian belum pernah merasakan di posisi Farah.

"Pak Radit, apakah Faqih pintar?"

Radit yang terkejut dengan adegan itu menjawab tergagap, "Iya, Faqih pintar."

Farah menarik tangan Faqih. Berjalan menuju meja Pak Edi yang juga melihat dan mendengar ucapan Faqih tadi.

"Pak Edi, apakah Faqih pintar?" tanya Farah lagi.

"Iya, Faqih pintar," Pak Edi tersenyum arif sambil mengusap pucuk kepala Faqih.

Farah berjalan menuju meja Bu Ratna yang sudah bersimbah air mata, mengulangi pertanyaan tersebut. Dengan terbata Bu Ratna menjawabnya dengan jawaban yang sama persis.

Begitu Farah lakukan kepada guru-guru lain di ruangan tersebut. Menanyakan hal yang sama, dan dijawab dengan hal yang sama sambil menggandeng Faqih. Sampai akhirnya mereka kembali di meja Radit.

"Faqih, berapa banyak orang yang berkata Faqih pintar? Banyak bukan? Faqih pintar, Faqih pandai," runtuh sudah pertahanan Farah. Airmatanya jatuh berderai. Apa lagi cara yang akan dicobanya untuk menguatkan Faqih?

Di sisi lain, Faqih hanya diam. Tak peduli. Kembali masuk ke dunianya. Menggoyangkan pensil yang didapatkannya di meja Farah. Memainkannya seolah hal itu adalah hal yang paling menyenangkan.

Farah terduduk gusar. Satu tangannya meraih tisu di meja. 'Faqih bodoh' sudah menjadi doktrin bagi Faqih. Dan tentu saja Farah takut hal ini akan mempengaruhi Faqih, baik di akademis maupun non akademis.

"Faqih pintar," ucapan Faqih menyadarkan Farah.

Farah tersenyum, "Iya, Faqih pintar. Faqih mau belajar bersama Bu Farah?"

"Iya," jawab Faqih singkat.

Bel masuk berdentang nyaring. Mengakhiri drama air mata di kantor guru. Dengan sisa-sisa tangis di wajahnya, Farah menggandeng Faqih menuju kelas. Pun juga guru-guru yang bergerak menuju kelas masing-masing.

***

Siswa-siswa kelas 1 sudah pulang 10 menit lalu. Pun juga dengan Faqih yang dijemput oleh sopir keluarganya. Farah bergegas mengemasi catatan kecilnya dan berjalan mendekati Radit yang berkutat dengan buku matematika di tangannya.

"Pak Radit, maaf. Ada catatan khusus di sekolah mengenai Faqih? Riwayat kelahiran misalnya, atau apapun?" Farah menarik kursi untuk duduk di depan Radit.

Radit mendongak, menatap intens mata Farah, "Maksudnya?"

"Saya mau melakukan assesmen," jelas Farah.

"Ases apa?" Radit menyatukan alisnya, "apa itu?"

"Assesmen. Assesmen itu singkatnya pengumpulan data. Jadi, data-data akademik dan non akademiknya Faqih dikumpulkan, lalu ditentukan kebutuhan akademis dan non akademis Faqih dan program yang akan diberikan ke Faqih."

"Itu, ases apa tadi, buat apa?" Radit melipat tangannya, serius mendengarkan penjelasan Farah.

"Ya buat..."

"Bisa kan kita ngomongnya santai? Kita seumuran, dan kayaknya aneh kalo kita ngobrol terlalu formal. Toh kita cuma berdua," potong Radit cepat.

Farah menelan ludah kaku, "Bisa kok. Assesmen itu biar kita tahu apa yang perlu dikembangkan dari Faqih, sejauh mana kemampuannya, program apa yang cocok untuk Faqih. Gitu deh pokoknya."

"Pokoknya," Radit mendengus kasar, "ini di sekolah dasar, Farah. Aku belum pernah tahu masalah assesmen itu."

"Ah iya. Jadi nggak ada sama sekali?" Farah menegaskan.

"Ya nggaklah, lagian Faqih baru masuk. Dan apa tadi? Kamu butuh data apa?" tanya Radit tertarik.

"Data kemampuan akademis, non akademis, kalo mau lebih lengkap ya sama tumbuh kembangnya Faqih sih," jelas Farah sambil melihat bukunya.

"Akademisnya apa? Membaca, menulis, berhitung?"

Farah mengangguk, "Iya, dasarnya dulu aja."

"Ya kamu tes dong, nggak mau repot banget. Kan bisa kamu lihat tadi pas pembelajaran," Radit menampakkan ekspresi malas.

"Iya tadi juga udah aku tes. Dia udah lancar baca, tulisnya masih butuh dirapiin, terus hitungnya pinter," tandas Farah gemas, ucapan Radit sebelumnya terasa menyebalkan.

"Non akademisnya?"

"Komunikasi, perilaku, sama interaksi sosial. Itu aspek utamanya. Komunikasi udah bagus sih, udah bisa ngomong, jawab pertanyaan juga. Perilaku, mmmm udah bagus juga, nggak ada perilaku stereotip yang berlebihan. Interaksi sosialnya masih perlu dibangun," Farah memainkan bolpoinnya, menjelaskan pada Radit.

Radit membelalakkan mata, itu udah semua, buat apa nanya ke aku? batinnya sebal.

"Jadi kamu mau kasih program apa?" tanya Radit memastikan.

"Aku mau Faqih percaya diri sama kemampuannya," Farah tersenyum mantap.

"Kita kerja bareng, aku juga dikasih tahu gimana caranya ya," Radit membalas senyum itu, "Eh tadi, stereo apa? Itu apa?"

Farah memutar bola matanya malas, "Stereotip itu perilaku khas yang diulang-ulang, misalnya bertepuk tangan, mengepakkan tangan, atau goyangin badan."

"Kaya gini?" Radit berdiri dan menggoyangkan badan sambil bertepuk tangan dan memasang tampang lucu.

Farah tertawa terbahak. Lihat, kini Radit bahkan bergaya ala pinguin. Berjalan dengan tangan menempel badan dan bergerak kaku.

"Aku suka tawamu," ucap Radit yang menghentikan gerakannya sekedar menikmati senyum dan tawa Farah yang lepas.

Farah terdiam, dan pipinya menghangat...

Cintaku BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang