11 | Senyum tulus terabaikan

912 69 26
                                    

"Pokoknya gue nggak mau lagi duduk di sebelah Windy kalau lagi nonton!"

Acha mengeluh kesal di dalam mobil saat menuju rumah Raina.Suaranya cukup kuat hingga Raina dan Windy menatapnya karena terkejut.

Windy memang sudah biasa berteriak ketika nonton. Tidak ada yang mau duduk di sebelah Windy, tapi tadi Acha memilih mengalah. Namun, kali ini Windy benar-benar kelewatan.

Windy mengerutkan dahinya samar "Kenapa, sih, Cha?" ia menekuk bibirnya

"Lo yang minta film horror malah lo yang paling berisik," keluh Acha terang-terangan

"Wind, lo emang berisik banget tadi," timpal Raina menyetujui.

Bukannya merasa tersinggung Windy malah terkekeh. "Itu namanya mengekspresikan adegan. Gue lagi ngebayangin gimana kalo gue yang jadi tokoh utamanya." Ia lagi-lagi terkekeh setelah kalimatnya

"Kalau gitu nggak usah nonton film horror." Debby menambahi.

"Tapi gue suka. Gimana dong?"

Kenapa mereka harus kesal pada Windy jika hal itu sudah biasa mereka dengar "Iya-iya. gue janji gak bakal teriak-teriak lagi kalau nonton," ucapnya lagi. berusaha menenangkan Acha yang masih merasa kesal.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti saat sudah sampai di depan rumah Raina. Sebuah bangunan yang disebut rumah itu memiliki pagar yang cukup tinggi dengan taman di sebelah rumahnya.

"Bye ... Gue duluan, ya." Tangan Raina bergerak membuka pintu mobil untuk keluar. "Makasih juga tebengannya." Raina tersenyum diakhir kalimatnya. Kemudian melangkah keluar mobil.

Langkah kakinya melangkah berlahan melewati halaman rumah yang cukup luas itu.

Setelah sampai di depan rumah, ia memegang kenop pintu itu dan segera membukanya. "Assalamualaikum," ucapnya dengan suara cukup kuat. Dia membuka sepatunya dengan kakinya yang lain, kemudian berlari ke-ruang keluarga untuk menemui sang mama.

"Ma," panggilnya pelan, tetapi ia tidak mendengar suara sahutan. . "Mama!" panggilnya lebih kuat dari yang tadi agar mamanya mendengar suaranya. "Di dapur kali," gumamnya sendirian.

Perempuan itu melangkah menuju dapur. Namun, saat melewati tangga, ia melihat sang mama turun dengan pakaian rapi.

Raina mengerutkan dahi samar, ini memang sudah biasa, tetapi Raina tetap harus tahu kemana mamanya pergi. Wanita paruh baya itu tidak mungkin pergui bekerja sementara hari ini adalah hari liburnya.

"Mama mau kemana?" tanya gadis itu setelah sang ibu sampai di lantai bawah.

Devi tersenyum, mengelus puncak kepala Raina singkat kemudian berucap, "ada urusan mendadak, Rain. Mama pergi dulu, ya."

"Jangan lama-lama, Ma. Aku takut di rumah."

Ucapannya yang hanya dibalas dengan singkat oleh mamanya. Papanya memang sering bekerja ke luar kota akhir-akhir ini, katanya ada proyek bagus di luar kota. Ketika pulang ke rumah, papanya hanya menginap beberapa hari sebelum kembali berangkat.

Hal yang paling membuatnya bingung sampai saat ini adalah, mamanya selalu pergi dengan pakaian bagus setiap kali papanya pergi ke luar kota.

*****

Gadis itu itu baru saja melangkah keluar dari rumah menuju toko bahan-bahan kue yang tidak jauh yang tidak jauh dari komplek perumahan bundanya. Hari ini ia baru saja melihat tutorial membuat bolu pisang di internet dan memutuskan untuk membuatnya.

Windy membuka pintu toko tersebut, disambut dengan wanginya bahan-bahan yang tersedia di sana.

Ia langsung bergerak menuju tempat-tempat bahan yang akan ia beli. Dengan lihai, ia mengambil satu persatu garnish yang tersedia.

Sementara itu, di luar toko seorang cowok baru saja mengantar ibunya untuk membelikan bahan-bahan untuk membuat bolu.

"Ma, aku tunggu di sini aja, ya," ucap Rai saat Sulis-mama Rau-ingin melangkah menuju toko untuk membeli garnish pada bolu yang dibuatnya nanti. Sebelum itu, Sulis sempat mengangguk sebentar.

Windy yang masih berada di dalam toko itu langsung berjalan menuju kasir saat bahan-bahan yang dia inginkan sudah ada ditangannya saat ini. Mata gadis itu melebar saat melihat wanita paruh baya yang dia kenal saat mereka berselisih jalan.

"Tante Sulis?" ucapan itu terlintas begitu saja dari mulutnya yang membuat wanita itu langsung menoleh ke arahnya. Tangan Windy langsung bergerak mengambil tangan Sulis dan mencium punggungnya.

"Eh, kamu," ucap Sulis tersenyum kemudian mencium kedua pipi Windy yang kini membuat Senyum gadis itu makin melebar. "Kamu apa kabar? Kenapa nggak pernah main ke rumah lagi?"

Dulu, wanita inilah yang mengajarinya membuat berbagai macam kue. Windy tidak akan pernah lupa dengan kebaikannya.

"Iya, tante maaf."Ada cengiran yang hadir bersama ucapan maafnya itu.

"Main dong, ke rumah."

"Nanti, ya, Tan, kalau aku ada waktu," ucap windy. "Aku ke kasir dulu, ya, Tan."

Sulis tersenyum kemudian mengangguk.

Di luar sana Rau masih duduk di atas motornya dengan mata yang mengarah pada ponsel yang dia pegang.

Teriknya matahari membuatnya memutuskan bergerak menuju teras toko kemudian duduk pada bangku yang tersedia di sana. Baru saja cowok itu melangkah dari tempatnya semua, matanya langsung menatap gadis yang berdiri didepan pintu toko sambil memandang ke arahnya.

Rai segera mengalihkan pandangannya dan tetap bergerak menuju tempat tujuannya tadi.

Windy berdiri di sana, di depan pintu toko dengan kantung plastik yang ia pegang. Dia baru saja keluar dari tempat itu dan tubuhnya mematung saat melihat Rai, cowok yang pernah mengisi ruang di hatinya, hingga saat ini. Gadis itu sempat tersenyum saat cowok itu memandangnya sekilas, namun, senyum itu tak bertahan lama saat pandangan itu tidak memperdulikannya.

Rai duduk pada bangku yang berada pada teras toko, sedikit jauh dari posisi Windy berdiri. Senyum yang tadi sempat hadir kini berganti dengan teduh mata karna kesedihan.

"Gue mau hubungan kita sampe sini aja."

"Kenapa?"

"Gue nggak bisa ngasi tau alasannya."

Kata-kata itu masih saja terngiang di kepalanya saat setiap kali melihat Rai. Entah apa yang ada dipikirannya kini, tapi sebening air itu menetes dari bola matanya berlahan. Windy cepat-cepat mengusapnya kemudian melangkah meninggalkan tempat itu.

Pandangan Rai teralih pada gadis yang tadi memandangnya, kini Windy melangkah menjauh. Ponsel yang sejak tadi ditatapnya kini tak lagi menjadi perhatian.

Rai menyesal karena tak sempat membalas senyum itu. Senyum tulus itu.

 Senyum tulus itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rain, Wind and Mine  (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang