They Thought Wrong

58 3 0
                                    

Alice, New York

            Aku begitu membenci hidupku.

            Jika ditanya mengapa aku membenci hidupku, maka aku akan langsung menjawab karena takdir yang tak pernah berpihak padaku. Kemudian, mereka—yang bertanya padaku—akan langsung mengernyitkan dahi dan tidak bertanya lebih lanjut. Ya, aku tentu tahu alasannya. Sederhana saja: mereka langsung menyimpulkan bahwa aku sudah tidak waras. Dan aku akan langsung tersenyum saat mereka menyimpulkan hal itu.

            Hei, mereka tidak sepenuhnya salah. Aku memang sering melamun dan menerawang akhir-akhir ini. Tapi jangan salah, aku tidak sedang melamunkan hal yang tidak-tidak. Aku hanya sedang memikirkan kesalahan apa yang pernah kulakukan hingga membuat laki-laki itu meninggalkanku. Aku benar-benar tidak tahu kesalahanku. Karena seingatku, aku jarang sekali melakukan hal-hal ceroboh yang dapat menyinggung perasaannya. Lalu, apa yang membuatnya meninggalkanku?

            Ibuku pernah berkata kepadaku, bahwa otakku hanyalah berisi air. Aku tidak tahu alasannya mengapa Ibuku berkata seperti itu kepadaku. Aku baru tahu alasannya ketika beberapa kali aku tidak naik kelas di sekolah dasar dan sulit mengikuti pelajaran saat di sekolah menengah. Apa karena itu dia meninggalkanku? Karena aku bodoh?

Aga, New York.

            Gemerlap lampu kota di Fifth Avenue membuatku kembali mengingatnya, mengingat gadis polos itu. Namanya Alice—dan aku sangat menyayanginya. Aku merasa menjadi laki-laki paling kejam saat meninggalkannya. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya akan membuatnya terluka. Percayalah, aku bukanlah yang terbaik untuknya.

Mengingatnya selalu membuatku rindu dengannya, dengan tingkah polosnya yang justru membuatku semakin sulit untuk melepas diri. Karena dengan belajar menyayanginya, maka aku pun belajar bertanggung jawab atas dirinya; bertanggung jawab untuk terus melindunginya.

Dengan wajah polosnya, dia pernah bertanya padaku—aku ingat saat itu kakeknya baru saja meninggal dunia: “Mengapa orang secerewet Ibuku tidak mudah mati? Padahal kau pernah menyuruhku untuk tidak cerewet; karena itu akan memperpendek umurku. Nah, kau bisa menjelaskannya padaku, Aga?”

Sudut bibirku terangkat, membentuk sebuah lengkung senyum. Terus bersamanya akan membuatku panjang umur karena selalu tersenyum. Sikap polsonya benar-benar keterlaluan. Aku sampai bertanya-tanya, berapa umurnya yang sebenarnya?

Melepasnya memang bodoh, tapi terus bersamanya akan jadi lebih bodoh

Namaku Aga. Percayalah aku bukanlah pria baik-baik. Karena aku seorang bajingan! Dan aku bangga karena itu. Bila boleh, aku ingin berterimakasih pada Ayahku yang menanamkan prinsip kalau-tidak-brengsek-maka-tidak-bisa-disebut-laki-laki terhadapku. Ternyata Ayah benar, mungkin bila perempuan sebrengsek laki-laki, mereka-lah yang akan ditakuti kaum kami—bukan sebaliknya.

Itulah alasanku meninggalkannya. Aku tidak ingin sikap brengsek yang terlanjur mengalir dalam darahku akan terus memanfaatkan kepolosannya itu. Dengar, aku memang brengsek, tapi memainkan hati perempuan bukanlah kegemaranku. Percaya padaku untuk yang satu ini. Aku cukup gentle, bukan?

Lihatlah bagaimana aku begitu mencintai hidupku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

They Thought WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang