"Ibu akan pergi"
**********
Sebenarnya, pengertian hidup bagi Anna sama seperti berlari di tengah hutan, dan dikejar oleh berbagai macam hal yang tidak pernah disukai dan tidak pernah diinginkan. Singkatnya, hidup adalah segala sesuatu yang tidak pernah pasti dan kebanyakan terasa menegangkan.
Ibu memilih pergi meninggalkan Ayah yang memang pantas untuk ditinggalkan. Namun, Ibu tidak meninggalkan dalam artian berpisah. Ibu akan pergi bekerja di suatu tempat yang hanya bisa kulihat melalui televisi atau google map.
Kata Ibu, jika menggunakan perhitungan yang tepat sebenarnya sama aja jumlah uang yang akan ia terima dari hasil bekerja disini. Di Samarinda. Ya, benar. Anna seorang gadis Samarinda. Ibukota Kalimantan Timur. Sebuah kota yang tidak begitu populer keberadaannya namun penuh dengan penduduk yang bermacam-macam suku dan agama. Lewati saja bagian ini. Tidak begitu menarik.
Jika Anna bisa memilih, Anna tidak akan memilih tinggal disini. Lebih jelasnya, Anna tentu memilih tidak dilahirkan sama sekali. Agak tragis bukan? Itulah pemikiran Anna yang tidak akan pernah didalaminya.
Ibu akan menjalani hari-harinya sendiri di Jakarta, Anna akan menghadapi Samarinda dengan satu orang favoritnya. Sang kakak. Oh, Ayah? Tidak, Ayah tidak pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup. Mungkin..
"Kalau Ibu pergi, jangan malas. Masak, rajin belajar, bantu kakakmu, jaga dia."
Keadaan Ibu sudah membaik daripada kemarin. Fisik yang Ibu milikki adalah anugerah yang sangat patut untuk di syukuri karena sangat kuat. Baru hari ini sembuh saja Ibu sudah menyiapkan makanan untuk disantap orang rumah.
Dapur sudah seperti basecamp untuk Ibu. Kesehariannya di dapur membuat Anna mau tak mau juga harus akrab dengan tempat yang lantainya sedikit lebih berminyak dari yang lainnya. Kalaupun Anna memilih untuk diam di kamar, rasanya tidak mungkin. Mendengar dentingan piring yang bertabrakan, atau gesekan spatula dengan wajan tua yang ada di dapurnya membangkitkan perasaan..... Entah, perasaan apa namanya, yang jelas dia merasa harus ke dapur saat itu juga.
"Ibu bisa saja berpikir dulu, siapa tahu Ayah berubah."
Sebenarnya Anna menahan tawa dan tangis disaat yang bersamaan ketika mengucapkan kalimat yang dia sendiri ragu akan kebenarannya.
"Anna, sudah berapa puluh tahun ini? Ayahmu masih sama. Juga, Ibu pergi bukan untuk berpisah atau meninggalkan hak sebagai seorang istri, Ibu bekerja." Alasan lagi, batin Anna.
"Ibu lari."
"Dari?"
"Ayah."
Anna belum paham betul rangkaian pikiran orang dewasa berumah tangga. Mengapa permasalahan dalam rumah tangga dianggap wajar tapi juga tidak dijadikan sarana belajar? Mengapa ego lagi-lagi terlihat lebih besar dibandingkan cinta? Apa pernikahan tidak pernah didasarkan oleh cinta? Atau... Cinta memang bisa hilang begitu saja?
Ternyata kutipan-kutipan tentang cinta tidak pernah benar. Definisi cinta tidak sekecil kutipan yang sudah pernah dibaca oleh Anna. Sekarang Anna mengerti. Cinta adalah perspektif yang berbeda. Sebagian orang menganggap cinta adalah perasaan untuk sepasang kekasih. Sebagiannya lagi, memandang bahwa cinta adalah keluarga. Dan tentu saja, ekspresi cintapun berbeda. Pelukan, usapan halus di kepala, pujian, tatapan, senyuman, menjadi penghibur, kesetiaan, memberi, dan masih banyak lagi.
Hanya itu pelajaran yang di dapat Anna. Sedangkan cinta dalam pandangan Anna sangat samar. Ini mungkin akan terdengar sedikit berlebihan, tapi.... Anna akan mencari arti cinta yang sesungguhnya. Mulai hari ini.
Anna berjanji kepada dirinya sendiri.