Aku berjalan pulang menyusuri hutan, tapi kali ini aku mengendari sapu terbang yang diberikan oleh Pak Fendor tadi siang.
Entah hantu apa yang merasuki si tua berkumis itu sehingga dia dengan baik hati memberikanku sapu terbang baru.Aku terus saja melajukan sapu terbangku hingga aku melihat Tulip sahabatku tengah menengadah ke atas seperti tengah memperhatikan sesuatu. Aku menurunkan sapu terbangku dan melangkah mendekatinya.
"Sedang apa kau?" tanyaku pada Tulip yang tengah mentap ke atas langit.
"Lihat, burung-burung itu," serunya.
Akupun melihat ke atas langit dan melihat segerombol burung-burung tengah terbang dengan cepat. Bukan dua atau tiga gerombolan burung yang terbang melainkan belasan secara berurutan.
"Sepertinya akan terjadi badai," gumamku. Melihat pertanda alam yang sering aku jumpai. Awan yang mulai mendung sangat gelap dan angin yang berhembus kencang.
"Badai yang sangat besar," saut Tulip.
Tetes demi tetes hujan berjatuhan. Awanpun semakin gelap hawa dingin berhembus pelan menusuk kulit."Hujan, sepertinya akan hujan besar malam ini. Sebaiknya kau cepat pulang Alice," seru Tulip sembari menoleh kearahku. Aku menganggukan kepalaku tanda mengerti dengan perkataan Tulip.
Lagipula Ayah pasti khawatir jika aku tidak segera sampai rumah."Dan jangan menaiki sapu terbangmu jika kau tak ingin tersambar petir," lanjutnya yang membangunkanku dari lamunanku. Aku melirik ke arah Tulip, dia memang sahabat yang baik tapi terkadang dia juga sangat menyebalkan. Walau hanya sebuah pohon Tulip sangatlah baik tapi terkadang ucapanya yang tidak pernah ditakar sering membuatku kesal.
Aku mengarahkan tongkat sihirku ke arah sebuah daun dan menyihirnya menjadi sedikit lebih besar untuk menutupi tubuhku agar tidak terkena hujan.
Aku melangkahkan kakiku menembus hujan yang semakin lebat. Aku memang sengaja tidak meneduh karena jarak rumahku yang memang sudah dekat, dan aku juga sangat takut jika ayahku merasa sangat khawatir melihatku tak kunjung pulang ditengah hujan lebat ini.Gemuruh petir seakan bersaut-sautan, sebuah rumah kecil berlapis bambu terlihat diantara kilatan cahaya.
Aku segera memasuki teras rumahku itu dan sedikit merapikan rambutku yang basah karena hujan. Aku membuka pintu rumahku belum sempat melangkah masuk aku mendengar suara seorang pria berbicara dengan Ayahku.Aku melangkah masuk ke rumah lalu mendekat dan sedikit mengintip kesebuah ruangan tempat ayahku membuat tongkat sihir.
Suaranya semakin jelas aku dengar dan aku seperti mengenal suara itu hingga aku sedikit lebih dalam mengintip dan benar saja aku mendapati Pak Fendor tengah berbicara dengan Ayahku."Aku harus mengembalikanya," seru pak Fendor yang terdengar sangat lantang.
Ayahku yang tengah menyalakan api untuk menghangatkan mereka seketika menatap tajam Pak Fendor yang tengah duduk di kursi. Bahkan mereka belum menyadari keberadaanku. Padahal ilmu Pak Fendor sendiri memiliki kelebihan dapat meliat atau merasakan keberadaan orang lain disekitarnya.
"Apa maksudmu?" seru Ayahku masih dengan tatapan tajamnya Sepertinya pembicaraan mereka sangatlah serius. Aku sedikit menyingkap rambut pirangku kebelakang telingaku.
"Dia bukan berasal dari sini kau tau itu Zu, dan sepertinya sudah saatnya aku mengembalikanya ketempat asalnya," seru Pak Fendor dengan tubuh gemuknya dia mencoba berdiri dari kursi yang dia duduki.
"Dia putriku! Tak akan ku biarkan siapapun memisahkanku dengannya ak-"
"ALICE BUKANLAH PUTRIMU!!" Suara lantang Pak Fendor bergema di ruangan ini, seketika suasana menjadi sangat hening. Kilat menyambar dan gemuruh semakin kencang seakan mereka tahu sebuah hati yang tiba-tiba saja remuk dan pecah berkeping-keping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Autumn
Fantasia"Jika aku bisa menyihir musim semi menjadi musim gugur, dan jika aku bisa mengubah masa lalu kemasa depan. Akankah ku dapat kembali kesana?" -Alice-