CARA MENYAJIKAN DENDAM

266 30 2
                                    


Hasrat membunuh muncul dengan picuan tertentu. Semisal, fitnah. Di mimpi dan imajinasinya, Bandot telah membunuh berkali-kali satu orang yang amat dibencinya itu. Seorang pengurus suatu yayasan, sebut saja orang itu Sengkuni. Sebab ia suka sekali membisiki bos-bos berdompet tebal di pucuk kekuasaan, menampilkan diri sebagai yang terbaik dan paling suci dan paling moralis.

Sebelum Bandot jadi korban fitnah yang tidak diberi kesempatan penjelasan dua sisi, ia telah menyaksikan sendiri bagaimana si Sengkuni memperlakukan orang-orang yang berada di bawah telapak kakinya. Sengkuni, sebenarnya bukan siapa-siapa. Namun karena kerajinan menjilat dengan bahasa manis ke bos-bos berkedudukan, ia melesat dan dipercayai memegang sebuah yayasan. Bandot, merasakan pedihnya, sedihnya orang-orang yang dianiaya secara batin oleh Sengkuni.

Yang pertama, anak asrama yang ketahuan bekerja di luar. Sengkuni mengusirnya. Alasannya, di asrama sudah diberi fasilitas uang saku dan sebagainya. Pengusiran itu secara sepihak dan tidak mau mendengarkan dulu latar belakang mengapa si anak bekerja diam-diam di luar sepengetahuan pengurus. Anak yang bekerja itu, tentu saja lebih memilih keluar dari asrama, daripada terus mendekam dengan hati yang tersakiti akibat ditindas oleh orang yang mengaku menjadi pengurus yayasan asrama, tapi sedikit pun tak memiliki hati untuk mengayomi selayaknya sosok bapak pengganti. Ya, lebih baik pergi.

Yang kedua, anak asrama lebih muda, ketahuan membawa telepon genggam untuk mengirim pesan ke pacarnya. Tanpa nasehat baik-baik, Sengkuni merebut telepon itu dan membanting di depan mata anak asrama lain di kamar anak laki-laki. Telepon itu hancur berkeping-keping. Lagi-lagi, Sengkuni tak mau mendengarkan alasan-alasan. Ia lebih memilih mengusir anak itu. Entah apa motivasinya.

Peraturan lisan yang beredar di asrama begitu ambigu dan semena-mena dan tak diberi pengampunan, walaupun kesalahan sepele. Sengkuni tampil sebagai polisi moral yang mengusik keasikan para muda mudi penghuni asrama. Dirasa-rasa oleh Bandot, asrama itu sama sekali tidak ada sentuhan keluargawi. Malang betul para penghuni.

Salah sedikit, usir! Salah sedikit, usir!

Tanpa si pengusir menilik diri sendiri.

Moralis boleh, kesetanan jangan.

Seperti Sengkuni tidak paham mengenai komunikasi dua arah. Payah.

Merasakan ketidakadilan dari perlakuan Sengkuni, Bandot memupuk kebencian para terusir itu. Pandangannya berubah tentang Sengkuni yang di awal memang menampilkan kesan orang baik hati yang peduli. Pret.

Lalu pengusiran itu menimpa sahabat Bandot. Seorang lucu yang gemuk. Ia ketahuan menonton video porno bersama kawannya di sudut belakang yayasan. Tentunya, moralis yang kesetanan itu langsung memotong permasalahan dengan cara paling akhir. Pengusiran. Seperti ia tak pernah menonton video porno waktu remaja saja. Lagi-lagi, Bandot mendapat bukti betapa tidak adanya pengertian di tempat itu. Tidak ada pengertian seorang orangtua kepada anak. Solusi atas permasalahan sebenarnya banyak, namun mengapa lebih memilih memotong langsung. Seperti mencari satu ekor tikus, tapi yang dibakar satu kampung.

Bandot yakin, anak-anak yang terusir itu memiliki dendam pribadi kepada Sengkuni.

Lalu Bandot mendapati diri menanam dendam itu sendiri. Ia terkena fitnah dari seorang putri dari asrama. Tanpa melakukan klarifikasi dua belah pihak, Bandot langsung disorot secara diam-diam sebagai seorang tersangka. Tanpa dipanggil untuk diminta keterangan. Bandot dituduh mencabuli putri itu. Sial kan. Serta merta dunia yang dikenalnya, selingkung yayasan, memusuhinya. Bandot yang tadinya ikut menumpang tinggal di gedung yayasan tersebut, suatu pagi diminta pindah ke tempat lain. Itu pun, perintah dari Sengkuni yang diteruskan ke bawahannya.

Lalu muncul orang-orang sok suci dan sok paham mengenai masalah pencabulan ini. Si putri mendapat perhatian berlebih dari para pemangku kepentingan yayasan. Fitnahnya makin gila. Seperti orang-orang sok suci itu tak mau mendengar penjelasan dari yang diduga tersangka. Seperti itu kan, sungguh tak adil, bangsat. Bandot merasa terasing dan akhirnya menyingkir sendiri. Di tempat di mana kau tak diterima dan tak didengar, sebaiknya pergi saja. Sebenarnya, Bandot menunggu masa-masa pembuktian bahwa fitnah yang ditimpakan kepadanya itu salah belaka. Namun, para pemangku kepentingan yayasan tampaknya tidak ada yang berpikiran jernih dan waras dan bernalar. Mereka lebih percaya kepada yang mengaku sebagai korban.

Inilah dendam yang tertanam dalam di jiwa Bandot. Kepada orang-orang sok suci polisi moral. Terutama kepada Sengkuni. Mereka-mereka yang merasa berada di atas angin tanpa mau menoleh ke bawah demi kebenaran. Kebenaran versi mereka, dirasa yang paling benar dan hakiki. Sungguh bangsat.

Di imajinasi Bandot, ia sudah membunuh mereka-mereka itu dengan cara-cara paling keji yang dapat dipikirkannya. Tapi hal itu, hanya berakhir di imajinasi saja. Tentunya Bandot tahu diri dan tahu konsekuensi. Ia tak bisa melancarkan pembalasan dendam dengan cara-cara demikian. Menurut kata pacarnya, "Biar tindakan tak adil mereka yang akan menghukum mereka nantinya. Percayalah, karma itu ada. Pembalasan dendam yang terbaik adalah dengan tidak melakukannya. Kau orang baik, aku tahu itu."

"Orang baik tidak balas dendam."

"Bukan begitu. Pembalasan tentu akan datang kepada mereka, tanpa kau perlu ikut campur."

Benar, karma itu datang. Bandot dapat tertawa puas. Sengkuni terlibat hubungan terlarang dengan seorang janda. Padahal dirinya masih beristri. Klise sekali, seorang yang merasa diri sudah berada di atas, merasa bisa melakukan apa saja. Mungkin ia lengah dan lalai. Ia terjerat godaan seorang janda. Semua bermula dari kirim pesan dan interaksi di kantor. Dalam kesempatan istri Sengkuni pergi beribadah, mereka terlibat hubungan asmara badaniah.

Betapa Bandot ingin melihat wajah Sengkuni yang tercoreng ketika si Janda dengan terang-terangan minta dikawini. Sontak hal itu jadi perbincangan panas di lingkung yayasan. Mukanya tercoreng. Haha. Rasakan. Karir yang dipupuk dari jilatan manis ke bokong orang yang berkedudukan dan berdompet tebal, jatuh seperti uang koin yang jatuh ke tahi sapi. Sengkuni dicopot dari jabatannya. Tindakan-tindakan tak becusnya mengelola yayasan pun terkuak. Ia kelabakan dan malu. Rasakan. Entah bakal seperti perang dunia atau tidak ketika si istri sah tahu mengenai perselingkuhan itu, Bandot tak mau membayangkan. Si istri sah itu berwatak keras. Setahu Bandot, Sengkuni seperti takut-takut oleh istrinya.

Entahlah. Bodo amat. Rasakan. Pembalasan dendam telah tersaji. Tanpa perlu Bandot ikut campur.

KURANG SERIBUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang