CARACTER

114K 4.9K 69
                                    

Dragonfly dan silkie white, warna yang terbalur manis meliputi bangunan dengan taman luas di ujung jalan, tepatnya panti asuhan Sunshine House yang menjulang hangat di pinggiran kota. Suara tawa anak-anak menggema di halaman bermainnya, ramai dengan keceriaan bocah-bocah dan sepi dari keramaian kota.

"Ana."

Mendengar namanya disebut, gadis yang sedari tadi duduk di salah satu bangku taman sembari tersenyum manis mendengarkan keceriaan teman-temannya menoleh ke asal suara.

Sementara wanita paruh baya yang memanggilnya berdiri di ambang pintu rumah, dengan was-was memperhatikan gerak-gerik gadis yang dipanggilnya, yang perlahan-lahan bergerak ke arahnya, dengan tongkat di tangan terayun membantu pijak langkahnya.

Tanpa sadar, gadis itu melewati wanita paruh baya yang memanggilnya. Dengan sigap wanita paruh baya itu menghadang, mengarahkan tubuh gadis cantik itu untuk menghadapnya.

"Maaf Mom Bell, aku melewatimu." Sembari tersenyum gadis itu mengatakan kalimatnya.

"Bukan masalah. Kau sudah minum obatmu, Keana?" tanyanya dengan suara lembut, sembari mengusap bahu gadis di hadapannya.

"Tenang Mom, aku sudah meminumnya setelah makan tadi." Keana tersenyum sambil mungusap tangan Bella di bahunya.

Bella menghela napas lega mendengarnya, beberapa saat dia memperhatikan wajah lugu gadis di depannya. Sempat khawatir Keana tidak mengonsumsi obatnya karena dia sibuk di dapur, sekarang dia bisa lega. "Bagus jika begitu. Udara semakin dingin di luar, lebih baik kau temani aku di dapur, kita tentu tidak mau demammu kembali malam nanti, bukan?" Bella membenarkan rambut gadis itu yang sedikit berantakan.

Tidak kunjung mendengar persetujuan, Bella malah mendengar Keana menggumam, seakan menimang-nimang kalimat yang akan dia katakan. "Ada apa, Keana?"

"Sebenarnya Marya, Carla, dan Arlet sudah berjanji akan membawaku ke kedai hari ini, apa mereka lupa memberitahumu, ya?"

Bohong, Bella tahu gadis di depannya gelisah dengan kebohongan yang baru saja dikatakannya. Dari caranya menggigit-gigit bibir dan memilin jari, jelas kedustaan itu terlihat.

"Oh, tentu Sayang, mereka sudah meminta izinku," jawabnya.

"Benarkah?" Dengan sumringah dia berjingkrak kegirangan.

"Ya, dan aku sudah mengatakan tidak untuk itu. Mom sudah mengatakan bahwa kau tentu akan menolak—"

"Tidak, aku mau, aku sangat ingin ke kedai dengan mereka."

Bella terkekeh mendengarnya, gadis lugu di depannya dengan wajah tidak berdosa. "Baru tadi malam kau demam, belum lagi kau bilang merasakan nyeri di keningmu. Kau harus istirahat Ana, kita tidak mau pengobatan matamu terhambat, kau tentu tidak mau hanya bisa melihat kegelapan selamanya, bukan?"

Bahu Keana meluruh mendengar jawaban Bella, hanya bisa menunduk sedih sembari menyingkir dari hadapan Bella untuk menuju kamarnya.

"Kau kenapa?" Marya yang baru keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya dengan handuk bergerak mendekati Keana yang terduduk lesu di ranjangnya.

"Mom tidak mengizinkanku ikut ke kedai."

Marya terkekeh mendengarnya. "Kaburlah kita kalau begitu, Keana. Buang rasa sedihmu. Masih banyak jalan menuju Roma."

"Ta-tapi—"

"Tenang, kita akan pergi dan kembali sebelum Mom Bell tau, jadi lebih baik kau bersiap sekarang."

***

Dalam kegelapan yang menyelimuti jantung kota, terdengar suara sirine merayap menusuk malam. Kilatan sinar neon merah dan biru memantul di atas mobil-mobil yang berjajar penuh kemesraan.

Di balik setiap senyuman dan pelukan, ada dunia gelap yang berputar. Sindikat kejahatan paling berkuasa di bawah permukaan telah lama menjadi raja di kota metropolitan. Memegang kendali bisnis ilegal, perdagangan, dan segala jenis tindak kiminal. Sindikat yang tidak memiliki nama, tetapi sepak terjangnya sudah menggema ke mana-mana.

Tidak kalah harum nama pemimpinnya yang terkenal dengan kebengisan. Banyak kabar burung tentang bagaimana rupa si memimpin misterius ini, tetapi orang-orang percaya bahwa dia adalah pria tua gempal dengan rambut yang sudah memutih.

"Tuan?" Wanita yang baru sadar dari lelapnya meraba-raba bagian ranjang di sampingnya. Kosong, orang yang dicarinya sudah tidak ada. Namun, sayup-sayup dia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi, tak lama kemudian pintu terbuka dan seorang pria keluar dari sana.

Dia tersenyum mengetahui pria itu masih di sana. "Aku pikir kau sudah pergi."

Pria itu dengan wajah dingin hanya menoleh, kemudian berlalu dari ruangan.

Di luar, sudah ada dua pria yang menunggunya, dia hanya mengedikkan dagu dan dua orang tadi masuk ke kamar, kemudian suara teriakan memilukan terdengar nyaring ke sepenjuru ruangan.

Lagi-lagi, korban jatuh karena berharap lebih kepada pria itu.

Tentu, karena kabar burung tentang rupa pemimpin sindikat kejahatan paling berkuasa di dunia itu salah besar. Sebaliknya, pria muda itu rupawan dengan mata biru cerah, tubuh tegap menjulang, dan wajah dingin yang menguarkan aura misterius, tidak ada cela. Benar-benar malaikat--pencabut nyawa, bukan pemberi bahagia.

Keluar dari rumah besar tempatnya menyimpan wanita penghibur, sebuah mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh pria paruh baya dengan banyak tato di leher sudah menanti.

Pria itu masuk ke bangku di samping pengemudi, sedangkan pria dengan banyak tato di lehernya tadi duduk di bangku pengemudi kemudian melajukan Mercedes hitam dengan kecepatan sedang.

"Dua hari lalu anak buah kita membajak kapal berisi senjata laras panjang, Tuan. Kami masih dalam posisi memantau," ucap Willson, pria penuh tato di leher tadi.

Barnett melihat pria di sampingnya menghela napas panjang. "Kita lihat tikus mana yang berani melewati wilayahku, Wil."

Willson mengangguk. "Lalu, ke mana tujuan kita, Tuan?"

Pria itu menutup kaca jendela kemudian menoleh kepada Willson. "Mencari wanita murahan lainnya, tentu saja."

Baxter calvert, pria adonis dengan hati iblis dengan satu prinsip, kematian tidak akan pernah mudah. Melawannya sama dengan mengantarkan nyawa. MenantangBaxter adalah cara tewas paling buruk yang pernah ada.

Baxter Calvert, terkenal unggulan, tidak menerima kesalahan, benci penolakan, anti kekalahan. Dalam dunia kriminal, si Calvert adalah sosok paling sempurna.

***

To Be Continued

Desire behind Closed EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang