Motor ninja merah milik Vino berhenti tepat didepan rumahku, aku turun dari boncengannya lalu berdiri dihadapannya—menunggu Vino membuka helmnya.
Aku menatapnya lalu, tersenyum tipis. "Makasih Vin, udah nganterin." ucapku berterima kasih padanya.
"Sama-sama." balasnya sambil tersenyum menatapku.
Aku mengernyitkan dahi saat ia tak kunjung menghidupkan mesin motornya. "Lo nggak mau pulang?" tanyaku.
"Lo nggak mau nawarin gue mampir?" balasnya bertanya bukan menjawab pertanyaanku.
"Eh?" aku tertegun dibuatnya, bukannya aku tidak mengizinkan ia masuk kedalam rumahku, aku hanya belum siap saja jika ada teman cowok yang main di rumahku, belum lagi pasti nanti kedua orangtua ku akan banyak bertanya.
Ku dengar Vino tertawa dihadapanku, aku menatapnya bingung. "Hahaha, bercanda kok, nggak usah tegang gitu mukanya." ucapnya masih tertawa geli.
Aku menundukkan wajahku, malu—apa wajahku sangat kelihatan paniknya? Sampai Vino berkata seperti itu.
Vino menghentikan tawanya lalu kembali menatapku namun, aku tetap menundukkan wajah sekaligus menyembunyikan pipiku yang sudah berubah merah—menahan malu.
"Lo masuk dulu kedalam, nanti gue pulang." aku mengangguk tanpa melihat wajahnya, lalu aku berniat masuk kedalam.
Langkah kakiku terhenti ketika Vino memanggilku. "Mo?" panggilnya, aku mengernyit mendengar ia memanggil namaku dengan sebutan Mo—berbeda dari yang lainnya.
Ku tolehkan wajahku menatapnya. "Kenapa?"
"Jangan nunduk, dibawah nggak ada dollar jatoh." ucapnya diiringi kekehan geli dari bibir merah mudanya itu.
"Apaan sih? Siapa yang nyari dollar?" jawabku sedikit kesal dengannya.
"Terus kenapa nunduk? Nggak kuat liat kegantengan gue ya?" ku lihat Vino menyeringai sambil menaik turunkan alisnya.
Dahi ku mengkerut. "Ish, ngaco! Udah sana pulang." usirku karena kesal ia menggodaku terus-menerus. "Oh iya, jangan panggil gue Mo, gue bukan sapi." lanjutku mengingatkannya.
Vino menaikkan alisnya sebelah. "Kenapa? Kan nama lo Moza."
"Nggak ada yang manggil gue Mo, temen gue ataupun keluarga gue manggil gue Za."
"Yaudah, nggak pa-pa, biar beda dari yang lain." jawabnya santai, aku memutar bola mataku jengah.
"Yaudah terserah." ucapku ketus lalu, masuk kedalam meninggalkan Vino sendiri di luar, sebelumnya aku mendengar kekehannya.
Heran dengan cowok itu, kayaknya suka sekali meledeki aku—sepertinya sewaktu kelas 11 dulu dia tidak sering meledekiku seperti ini. Ya sudahlah, mungkin Vino sedang tidak waras hari ini makanya ia seperti tadi.
***
"Moza, makan dulu dari tadi kamu belum makan!" teriakan Mama terdengar dari luar kamarku, membuatku terpaksa menghentikan aktivitas mengerjakan tugas kimia yang tadi belum sempat terselesaikan.
Sehabis pulang dari caffe tadi aku sama sekali belum menyentuh makanan sedikitpun. Pasalnya aku mempunyai penyakit maag—Mama takut jika aku telat makan penyakit maag ku akan kambuh, maka dari itu Mama selalu cerewet jika aku belum makan.
"Iya Ma, nanti Moza nyusul kebawah." ucapku menjawab teriakan Mama sebelum kembali bersuara.
"Yaudah Mama tunggu dibawah." setelah mengatakan itu, ku dengar derap langkah kaki Mama menjauhi kamar ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Silent
Teen FictionDalam diam aku menyimpan, sebuah kata yang sulit untuk ku ucapkan. Dalam diam aku memendam, sebuah rasa dalam rangkaian aksara. Dalam diam aku menyembunyikan, sebuah harap yang terpendam tanpa terungkap. Dalam diam aku menyebut namamu dalam setiap d...