"Makasih ya, udah nganterin gue."
Fina merapikan rambutnya yang acak-acakan diterpa angin saat diperjalanan."Iya sama-sama, kalo lo butuh temen buat curhat, hubungi gue aja. Gue siap kok nampung semua keluh kesah lo."
Bibirnya tersenyum merekah,
"Mulai sekarang kita temenan?"
Jari kelingkingnya kembali teracung yang langsung kubalas dengan segera.
"Oke."Helaian-helaian rambut dipipinya yang dimain-mainkan angin kusematkan kebelakang telinganya, lantas mengusap luka di sudut bibirnya yang sudah membiru.
"Jangan lupa diobati. Nanti infeksi loh."Dia mengangguk, sikapnya terhadapku benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Padahal kemarin-kemarin dia sangat ketus kepadaku, dan anehnya kenapa aku peduli dengan pacar orang?
Ah sudahlah, anggap saja aku hanya merasa kasihan pada perempuan didepanku ini. Bukankah sudah kubilang kalau aku paling tidak suka melihat perempuan tersakiti? Wahai pembaca, Sungguh, jangan kau do'akan aku agar suka terhadapnya, aku tak mengharapkan itu. Biar saja Kanaya seorang yang menempati hatiku tanpa orang lain yang menggantikan posisinya."Ya udah, lo masuk gih."
"Gak mau mampir dulu?"
"Gak usah, udah mau maghrib nih." Kutunjuk langit yang sudah mulai gelap disertai awan mendung yang bersenggolan seolah tak tahan ingin menumpahkan air hujan ke bumi, padahal hujan baru saja berhenti sekitar tiga puluh menit yang lalu.
"Oke, gue masuk. Lo hati-hati dijalan ya"
Dia melambaikan tangan sebelum tubuhnya lenyap dibalik pintu gerbang rumahnya._
Lalu lalang kendaraan kembali memenuhi aktifitas jalan raya yang sempat lenggang sewaktu hujan tadi. Dari kejauhan, mataku sempat terganggu oleh sebuah pemandangan tak asing. Kau tahu? Saat ini didepanku ada Kanaya yang tengah dibonceng Bagas, mereka masih mengenakan seragam sekolah sepertiku barangkali mereka berdua habis pergi main. Kini mereka sudah seperti dua sejoli yang baru saja jadian, melihat Kanaya yang begitu erat memeluk Bagas semakin memperkuat asumsiku kalau mereka benar-benar sudah jadian, mungkin sekitar satu jam atau tiga puluh menit yang lalu.
Aku berhasil mensejajarkan motorku dengan motor Bagas
"Hai... Pada abis dari mana nih?"
Ucapku berteriak mencoba mengalahkan suara bising deru-deru kandaraan yang lewat.
Sontak Kanaya melepaskan pelukannya dan memandangku sesaat sebelum dia membuang muka.Bagas membalasnya dengan sebuah senyuman separo.
"Abis maen, kenapa?" nadanya terdengar seperti ingin pamer. Cuih! Rasanya aku ingin muntah."Gak kenapa-kenapa."
"Lo sendiri abis dari mana?"
Abis nganterin cewek cakep.
"Abis kerja kelompok.""Emang ada tugas kelompok? Perasaan gak ada."
Brengsek! Aku salah ngomong.
"Maksudnya abis ngerjain tugas Matematika dari bu Neneng sama temen-temen yang lain. Lo pasti belum ngerjain kan?""Udah lah, gue gak pernah lupa ngerjain tugas."
"Oh." aku melirik Kanaya yang masih setia membuang muka, kusunggingkan senyuman separo.
"Gue duluan ya, Rumah Kanaya tadi udah kelewat tuh." teriakku sambil membelokan motor memasuki jalanan kompleks menuju rumah nenek. Sungguh, melihat Kanaya dan Bagas seperti itu rasanya menyesakkan. Ah, tak seharusnya aku merasa patah hati seperti ini, toh siapa tahu mereka berdua belum jadian."Dari mana aja kamu?" nada ketus nenek seperti itu menyambutku yang baru saja menapakan kaki di ambang pintu. Nenek bangkit dari duduk, merapatkan baju hangat rajut yang melekat ditubuhnya, lantas menatapku dengan tatapan mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Bidadari
Fiksi RemajaKupikir kau adalah satu-satunya yang nyata diantara perempuan- perempuan yang mendiami dunia khayalku, namun ternyata kau juga salah satu bagian dari mereka. Baiklah, kubiarkan kau hidup bahagia bersama orang lain, tapi bukan berarti aku menyerah. A...