Kompetisi Bir

22 0 0
                                    

Seandainya di kamar ini ada ruangan untuk berbincang dengan Tuan Tuhan, mungkin saya sudah asyik minum kopi bersamaNya. Sayangnya, hanya ada kuda poni merah muda dengan mata dan senyum yang menggemaskan. Rasanya ingin melempar ke luar. Dari lantai empat. 

Hari sudah siang. Bahkan matari sudah melewati jalur lurus ubun-ubun manusia. Sedangkan, pemilik kamar masih tidur. Malahan tengah dalam keadaan lelapnya. Tak bisa diganggu. 

Dia bukanlah orang yang suka bangun pagi, siang, atau sore. Tapi dia adalah orang yang hanya bisa tidur saat pagi menjelang siang. Jadi, saya yang tak bisa memejamkan mata terlalu lama, hanya bisa menatap wajahnya yang telanjang. Tanpa riasan apapun. Setelah malam harinya kami pergi ke luar. Menikmati Sabtu malam di Jakarta yang tak terlalu bising. 

Matanya besar. Kantungnya juga. Lingkaran hitam menghiasinya, mirip panda. Saya bertemu perempuan ini seminggu yang lalu. Ketika ia tengah mengikuti kompetisi minum bir. Di sebuah festival bir di Jakarta Selatan. Entah doyan atau haus, perempuan ini hampir menghabiskan minuman beralkohol tersebut. Sayangnya, ia masih kalah cepat dengan yang lainnya. 

Ia berdiri di depan panggung. Di depan semua orang yang hadir malam itu. Bersama empat perempuan lainnya. Perempuan berambut pendek itu mengenakan dress yang tak saya tahu apa namanya. Yang saya tahu, hanya warnanya yang cokelat kemerahan, dengan kacamata besar menutupi mata pandanya. Kalau kata MC, mirip Betty Lafea. Malam itu ia cukup mencolok untuk ukuran perempuan yang datang di sana. Sebab, dipunggungnya menempel ransel merah mirip si Bolang--acara televisi anak-- dengan kepala ukulule yang selalu memerhatikan sekitar. 

Ia kembali menikmati malamnya. Sendirian. Hanya ditemani segelas Pros dan sebatang rokok yang nyaman diantara telunjuk dan jari tengahnya. Sangat nikmatnya, ia menghisap rokok dalam-dalam. Masuk ke dalam paru-paru bersama dentuman musik yang tengah mengudara. Tak lupa, ia juga membagi untuk orang di sekitarnya. Membagi untuk menghirup asap nikotin.

Diantara kerumunan orangorang-orang yang tengah menikmati malam, saya hanya memerhatikannya. Memastikan kesendiriannya.
**

MC masih berkicau di atas panggung. Semua yang ada di dalam kepalanya terus berputar. Mencari bahan pembicaraa agar tak kehabisan. Agar acara tak garing. Agar kami yang hadir, bisa terhibur.

Pada saat itu juga, Oktobeerfeast hampir menjelang akhir. The Sigit sebagai band penutup, sudah melakukan persiapan di atas panggung.

Mereka membawakan beberapa lagu andalannya. Andalan untuk membuat kerumunan berjingkrak, bergelombang mengikuti irama musik rock, khas grup band asal Kota Bandung itu. 
**

Dia, perempuan dengan ransel merah, hilang dari radarku. Lenyap diantara kerumunan. Dan itu, membuat saya harus mencarinya. Karena, tak ada kesempatan kedua. Kesempatan untuk bertemunya lagi. 

Barang sekali putaran melewati kerumunan, dari timur ke barat, akhirnya saya menemukannya. Berdiri sendiri di barisan tengah belakang area. Tentu saja, masih dengan segelas bir dan rokok di tangannya. 

Saya, hanya terdiam di belakangnya. Mengumpulkan seluruh energi yang ada. Energi keberanian untuk menyapa perempuan berambut pendek itu. 

"Kamu punya korek?" tanya saya sambil mengeluarkan rokok.

Padahal saat itu, saya punya korek. Tersimpan rapi diantara barang kecil di saku celana jeans sebelah kanan. Meminjam korek hanyalah trik receh untuk berkenalan dengan orang asing. Dan ketika itu, sudah berada di sampingnya.

"Yah, baru saja jatuh," jawabnya sambil menunjuk korek yang ancur di atas lantai area penonton. 

Sebagai pengganti korek, perempuan itu menyodorkan rokoknya. Saya hisap perlahan rokok dengan menempelkannya pada ujung roko miliknya. Setiap sudut dipertemukan agar terbakar dengan rata.

Rokok sudah menyala. Asapnya menari menyatu dengan musik. Terbang dan hilang diantara kerumunan penonton. Penonton yang tengah dibuat asyik. Dengan musik dan reaksi alkohol dalam kepala yang tak berisi kepastian. 

Usaha selanjutnya diteruskan. Ia membolehkan saya menemaninya.  Menemani menikmati If I Could Live in New York dari The Sigit. Sambil, mengayunkan seluruh bagian tubuh mengikuti irama musik.

"Saya Arin," ucapnya sebari menyodorkan tangan, dengan senyuman super manis yang ia keluarkan. Itu tandanya, sebuah perkenalan dimulai.  

Sambutan cukup baik. Tangan saya dengan senang menyambut sebari mengatakan nama pemberian orang tua. 
**

Ucapan terima kasih dengan sendirinya terucap dalam hati kepada pihak-pihak yang sangat berpartisipasi. Kepada pihak yang memberi tiket gratis, penyelenggara acara, MC yang telah memilih Arin sebagai kontestan minum bir, dan tak lupa kepada Tuan Tuhan yang telah memberi semua kehidupan. 
**

The Sigit beranjak dari panggung. Tandanya acara berakhir. Orang-orang mulai balik kanan. Melangkahkan setiap kakinya. Menuju pintu keluar.

Namun ada juga yang masih tampak menikmati setiap detik pada acara itu. Meminta dinyanyikan barang satu atau dua lagu lagi. Sayangnya, kami tidak termasuk yang terakhir. Kami masuk ke dalam golongan yang telah siap meninggalkan area Oktobeerfeast. Dengan orang asing yang beru saja dikenal.  

Sebelum benar-benar berpisah, beberapa klise saya coba untuk mengetahui Arin lebih. Beberapa menit mengobrol sambil beranjak pulang.

 **

Arin, adalah adalah mahasiswi semester tujuh jurusan perflman di universitas swasta seni di Jakarta. Meski demikian, ia dengan cepat merespon agar tak menanyakan kelulusannya. Alasannya, kelulusannya masih lama.

Bagi saya, sangat wajar. Apalagi anak seni. Anak seni yang lulusnya tepat waktu, bisa dibilang prematur. Tapi jangan sampai kelamaan. Dunia masih luas soalnya. Masih banyak yang harus dikenali. Dipahami. Dan kemudian dikencani.

Sambil berpamitan pulang ke tempat masing-masing, kami saling bertukar nomor ponsel. Lebih tepatnya, saya meminta nomornya.

Dan akhirnya, bertemu seminggu kemudian. 
**

Dia masih tertidur saat saya menuliskan kisah ini. Masih dengan wajah tidurnya yang telanjang. Yang benar-benar membuat semua lelaki ingin memiliknya. Ingin menatapnya hingga waktu benar-benar berhenti.

Saya beranjak dari kursi warna biru yang berjarak kurang lebih satu meter dari tempat dimana ia terlelap. Mendekatinya. Merebahkan tubuh di sampingnya. 

"Selamat tidur," ucap saya seraya mengecup keningnya yang cukup luas dengan segala pengetahuannya; segala sesuatu tentang dunia. Dunia yang telah ia jelajahi selama 21 tahun.

ARIN: Perempuan Nyata dari Cerita Sebelumnya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang