Ketahuan Kencan

12.2K 1.4K 75
                                    

Asha mencoba mencerna permintaan Reva barusan. Ia tidak salah dengar kan? Reva mengajaknya berpacaran.

Untuk beberapa lama keduanya dilanda kebisuan. Sibuk dengan pemikiran masing - masing.

Asha menarik nafas panjang ketika ditengah kegalauannya, ia kembali melihat bang Juna dan pacarnya muncul di foodcourt. Jujur saja Asha masih menyimpan rasa untuk bang Juna, sedangkan Reva adalah pria diluar ekspektasinya untuk dijadikan seorang pacar.

Lalu...

"Sebetulnya aku belum kepikiran untuk pacaran, Rev. Aku kan baru lulus kuliah."

Alasan klise itu sengaja Asha jadikan dalih supaya Reva tidak terlalu berharap padanya.

"Aku kan pingin jadi pekerja kantoran dulu. Berdandan cantik, baju bagus, tas bagus, sepatu bagus. Punya teman - teman yang cakep. Siapa tahu salah satu temanku nanti adalah calon menantunya mama."

Argumentasi Asha membuat Reva tertawa terbahak. Tapi bukan Reva namanya jika ia langsung mundur teratur setelah ditolak Asha barusan. Selama darah masih mengalir, boleh dong Reva berjuang hingga titik darah penghabisan untuk mendapatkan Asha.

"Kok kamu bisa punya pikiran seperti itu."

"Ya iya lah. Kan nanti kita dapat predikat bagus di mata masyarakat. Kalaupun jadi buah bibir, kita diomongin yang bagus - bagus, bukan yang jelek -jelek."

Terbiasa mendengar ibu - ibu menggosip membuat Asha mati - matian membangun image baik di lingkungan tempat tinggalnya. Lah iya kan? Gosip di kanan - kiri itu lebih kejam. Sebagai puteri seorang janda, Asha berusaha mati - matian mengangkat derajat mamanya.

"Berarti aslinya kamu nggak niat kerja jadi pegawai kantoran, dong?"
Reva berusaha membalikkan argumen Asha.

"Ya jelas niat dong Rev. Kalau nggak gitu buat apa aku mengejar cepat lulus dan dapat ipk bagus!"

Flasback dulu.

Akhir - akhir ini Reva jarang sekali bertemu dengan Agnes. Ia memang sedang disibukkan dengan kegiatan menjadi pembimbing kelompok tani. Berawal dari ajakan seorang penggagas pecinta lingkungan. Reva yang seorang mahasiswa fakultas pertanian akhirnya setuju untuk membantu membimbing salah satu poktan ( kelompok pertanian) di salah satu daerah berbukit yang terancam longsor.

Awalnya Reva menolak ajakan itu. Ia adalah anak dosen, jadi ia mempunyai prinsip rajin kuliah, lulus cepat, ipk cumlaude, dan mendapat pekerjaan mentereng di bank atau menjadi ASN
Tapi cita - citanya ditertawakan oleh seniornya itu.

"Buat apa kuliah di fakultas pertanian kalau ujung - ujungnya bekerja di belakang meja. Kuliah di fakultas pertanian itu ya jadi petani dong. Percuma ilmu yang kamu dapat dengan mengeluarkan banyak uang tapi tidak kamu amalkan, kalau hasil pemikiranmu sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh berjuta - juta manusia yang butuh makan!"

Ucapan menohok yang akhirnya membawa Reva untuk datang ke sebuah kecamatan yang wilyahnya termasuk sebuah dataran tinggi yang gersang.

"Kalau keadaan ini terus dibiarkan kamu tahu kan apa yang akan terjadi? Nggak cuma banjir, longsor, tapi juga kelaparan dan kemiskinan!"

Sejak menerima doktrin dari seniornya, Reva jadi ikut aktif melatih dan monitoring masyarakat setempat yang di dukung oleh bapak camat dan para tetua desa. Ia datang seminggu tiga kali. Membuat Reva jadi sering membolos dan skripsinya agak keteteran.

Ayah yang mengetahui kegiatan Reva sempat marah. Bukan kemarahan yang berujung cek - cok. Hanya saja pak Hartono meminta Reva mempertanggungjawabkan pilihannya dengan menyetop biaya kuliah. Sehingga setiap 3 kali dalam seminggu sisa waktu senggangnya Reva gunakan untuk menjadi tentor matematika smp dan sma di sebuah bimbel.

Oh No...! (Telah Selesai Direvisi/tamat)🌷Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang