Jangkrik sudah riuh sedari tadi, pun katak tak henti-henti memekik diluar musim, kali ini suara emasnya bukan untuk menarik perhatian pasangannya dimusim penghujan. Amfibi jantan yang memiliki empat jari kaki depan dan lima jari kaki belakang ini semangat sekali memberi kode pada Dhiya agar membuka suara. Tapi Dhiya tetap saja bungkam dalam malam pekat kala itu. Cicak tak mau kalah, kesana kemari ia berlari di dinding-dinding teras tempat Dhiya duduk terpaku bersama sahabatnya.
"Ckck ckckcck" Cicak menduak, lalu disambut pula oleh kokokan ayam jantan yang bertengger pada pohon sawo tepat disebelah teras. Hewan-hewan itu gelisah dengan tingkah Dhiya yang membingungkan, hingga bersuaralah mereka diluar waktu. Pun bintang sudah memberi isyarat pada kedipan matanya dengan lembut.
Tetap saja Dhiya bergeming. Dibiarkannya sahabatnya itu membisu sepertinya, tentu terka berbeda dalam menerjemah suasana. Sudah menjadi pilihannya untuk bungkam kala itu, karena menurutnya itu jauh lebih baik. Ingin!, ingin sekali ia membuka suara berbagi masygul. Tapi Dhiya tak mau kehilangan utama karenanya. Terngiang pula nasihat Salim A. Fillah dalam bukunya "Dalam Dekapan Ukhuwah".
Alangkah syahdu menjadi kepompong, berkarya dalam diam, bertahan dalam kesempitan. Tetapi bila tiba waktu untuk jadi kupu-kupu, tak ada pilihan selain terbang menari; melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia.
Dan angin pun memeluknya, dalam sejuk dan wangi syurga.
InsyaaAllah bersambung....