Sarasvati Raisa [5]

1.9K 356 32
                                    

Malam semua. Hope you enjoy this chapter ^^


Kandara sedikit tersenyum melihat Sara pagi ini. Perempuan itu semakin menyerupai bidadari ketika mengenakan kebaya biru dongker dengan kerah sabrina. Tulang selangkanya yang menonjol terlihat begitu seksi di mata Kanda. Belum-belum, Kanda mulai membayangkan seperti apa cantiknya Sara saat naik ke pelaminan nanti. Pastilah kecantikan Sara membuat ia menggelepar, tetapi yang jadi pertanyaan, akankah dirinya yang mendampingi Sara nanti?

Kanda terdiam, memerhatikan motif batik yang dikenakannya. Hari itu, ia pun mengenakan kemeja batik berwarna senada dengan Sara. Bukan janjian atau pertanda jodoh, tetapi hanya itulah kemeja batik Kanda yang masih bagus. Sisanya membuluk.

"Jam Indonesia," sahut Sara dengan nada agak kesal. Jam di tangannya menunjukkan pukul sembilan. Padahal, seharusnya acara dimulai pukul delapan.

"Mungkin pengantinnya bangun kesiangan."

Sara mengangguk. Hening menyelimuti mereka yang masih duduk-duduk santai di luar menunggu acara ijab kabul dilangsungkan.

"Saudara kamu yang ini orang Palembang? Saya enggak melihat ada ornamen-ornamen jawa di dekorasinya."

Sara mengangguk.

Kandara menatap jemarinya, mempertimbangkan untuk menyampaikan hal yang sejak lama ada di pikirannya.

"Saya pikir, dulu ketika pertama kali kita bertemu, saya kira kamu itu ... masih keturunan keraton-keraton gitu." Kandara berusaha keras mengalihkan perhatiannya dari wajah Sara ke arah barisan bolu gulung, dan kue lapis yang disuguhkan bagi tamu di acara akad nikah. Melihat itu, perut Kandara bergemuruh kelaparan, tapi jantungnya lebih bergemuruh lagi jika ia memilih mandangi paras Sara.

Tawa Sara pecah seketika. Terdengar sangat renyah di telinga Kandara. Tawa itu seakan-akan membawa frekuensi yang cocok sekali menabuh membran tymphani Kandara. Untuk kesekian kali, Kandara merasa sangat ingin menghabiskan waktu dan hidupnya bersama Sara. Memberi makan burung puyuh peliharaan mereka, membersihkan lemari berisi ribuan buku-buku yang mereka kumpulkan sejak jaman sekolah, atau merapikan tanaman-tanaman herbal yang mereka tanam di belakang rumah. Bukankah Kandara cukup baik untuk dijadikan pasangan hidup? Meski gaji dokter tidak sebesar yang digembar-gemborkan orang, tetapi tidakkah itu sudah bisa mencukupi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier?

Ah, entahlah. Mungkin para betina itu malas mendekatinya karena cemas Kandara tidak dapat menyajikan kebahagiaan dan kekayaan berlimpah di meja makan. Namun, setiap kali ia berjalan Bersama Sara, Kandara merasa Sara mampu menerima, bahkan hanya pempek seharga Rp3000,- dapat dua biji bisa membuat Sara tersenyum kesenangan.

Kandara menguatkan hatinya untuk menatap Sara. Memang benar kata orang-orang, keindahan itu memang terpancar ketika mata bertemu mata. Dan dalam kasus ini, ketika Kandara menatap sebenarnya mata Sara, Kandara menemukan kilau cinta di sana. Baiklah, bukankah cinta harus disambut? Sara menangkap basah Kandara, membuat pipinya dan pipi Kandara sama-sama merona. Ah, merah muda.

*

"Aduh, udah cocok begini. Jadi kapan menyusul?" tanya seorang Tante Sara. Kanda hanya meringis. Ia mau-mau saja menyusul ke pelaminan, tetapi siapa yang mau diajak ke pelaminan dengannya?

Sara sendiri hanya tersenyum dan menjawab dengan diplomatis. Sayangnya, tidak hanya satu yang bertanya. Beberapa kembali mengulang-ulang pertanyaan. Kandara jadi berpikir, mereka sebenarnya hanya basa-basi, ingin tahu, atau ingin mencela? Bukankah lebih baik bertanya kabar daripada bertanya status hubungan seseorang?

"Kerja apa?" tanya seorang perempuan dengan sanggul tinggi, entah siapanya Sara. Pertanyaan itu begitu saja tercetus begitu Sara memerkenalkan dirinya sebagai teman dekat.

Setengah LusinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang