Drama Duapuluh Empat

72.1K 2.5K 79
                                    

Berbaring di sofa dengan novel di tanganku adalah kegiatan rutinku setiap hari untuk mengisi waktuku menunggu Damar pulang dari kantor, diwaktu sore begini.

Aku barus saja mulai membaca bab tiga, saat suara bell yang ditekan, mengusik kenyamananku.

Aku terpaksa bangkit dari posisi nyamanku, saat bell kembali ditekan. Oke, mungkin aku paranoid, tapi jujur saja, aku memang agak takut dengan kemungkinan siapa yang berada di balik pintu rumahku.

Tidak biasanya ada seseorang yang bertamu ke rumahku dan Damar, dan seseorang yang kuingat terakhir kali bertamu ke rumah kami, adalah orang yang paling tidak ingin kutemui.

Ya ampun, aku memang paranoid karena takut pada kemungkinan yang mungkin saja salah. Tapi ingat, bahwa segala kemungkinan bisa terjadi. Dan kemungkinan buruk, tidak bisa dikatakan jarang terjadi. Nah apa kalian mengerti maksudku? Ah, lupakan. Kurasa aku terlalu banyak menonton sinetron.

Suara bell kembali terdengar saat aku tidak juga membuka pintu, kali ini terdengar lebih menuntut. Oke, oke, akan kubuka.

"Sebentar." kataku malas, dan dengan pelan berjalan menuju pintu.

Aku menghela napas dalam-dalam, anggap saja ini sebuah persiapan untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Oh, aku drama queen sekali.

Dan wajah tidak bersahabat itu langsung menyerbu penglihatanku saat aku membuka pintu. Uh-oh. Memang, tadi itu aku berpikir macam-macam hal buruk yang mungkin saja terjadi, dan kemungkinan bahwa yang datang adalah orang yang tidak diinginkan.

Tapi tidak ada dalam pikiranku bahwa yang akan berdiri di hadapanku sekarang adalah sosok perempuan cantik yang hampir sama seperti Barbie. Perempuan yang kutemui pada pesta tidak menyenangkan beberapa minggu lalu.

Oh, aku benar-benar tidak menyangka kalau yang akan kutemui di balik pintu ruamaku adalah Raina. Well, kejutan macam apa ini? Tapi pikiranku benar tentang; kedatangan orang yang tidak diinginkan. Titik.

"Kamu mau terus ngebiarin saya berdiri di sini?" bahkan suara menyebalkan itu terdengar begitu anggun. Cih.

Aku menaikan alisku, tidak mau repot-repot berusaha terlihat ramah. Bukan salahku, Raina duluan yang memasang tampang tidak bersahabat begitu.

"Memang kamu butuh masuk ke rumahku?" tanyaku balik, dengan nada santai yang menjengkelkan. Plis, menjadi menyebalkan itu menyenangkan.

Aku tersenyum puas dalam hati saat mendapati Raina mendengus, kentara sekali ia terlihat tidak senang. Dan aku berhasil melongo dibuatnya saat dengan tidak sopannya, ia menabrak bahuku, melewatiku dan masuk ke dalam rumahku. Rumahku! Ya ampun, lenyap sudah senyum puasku.

"Ya, ya, ya. Duduk aja dimana kamu suka." sindirku saat memasuki rumah dan mendapati Raina telah duduk dengan nyaman di sofa tempatku bersantai tadi.

Ia samasekali tidak terlihat terusik dengan sindiranku, malah ia balas sindiranku dengan decihan meremehkan. Tuhan... Ini perempuan ada otaknya tidak sih? Rumah siapa, yang mendecih meremehkan malah siapa.

Duh, ini perempuan aku tendang keluar sekarang juga dari sini, sah-sah saja kali ya. Enek lihat tingkahnya, ampooon.

"Langsung aja deh ke inti pembicaraan." ujar Raina tiba-tiba.

Aku melongo lagi. Yah, lawak ini perempuan. Yang mulai pembicaraan siapa? Yang punya maksud dateng ke sini siapa? Kenapa malah jadi dia yang bilang, langsung aja ke inti pembicaraan dengan nada memerintah begitu ke aku?

"Ada apa sih pake acara ke sini?" kataku akhirnya. Sudahlah, tidak perlu manis-manis dengan orang yang ngajak ribut begini.

"Cerai dari Damar. Aku mau kamu cerai dari Damar." ucap Raina. Sepertinya, dia mengikut sertakan racun dalam ucapannya.

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang