Chapter 1: The Beginning

102K 8.2K 516
                                    

Untuk sekian kalinya, perasaan aneh itu lagi. Sudah beberapa hari ini aku bermimpi aneh. Dan mimpi itu terus berulang dan berulang. Seperti mimpi dalam mimpi. Seperti dalam film Inception yang dibintangi oleh aktor Leonardo DiCaprio.

Jam tanganku menunjukkan pukul tiga sore. Waktunya pulang dari pekerjaanku sebagai penjaga toko buku. Kebetulan ini hari Minggu, jadi pengunjung cukup ramai di pagi hari dan aku bisa pulang lebih cepat. Gaji di tempat ini juga tidak begitu besar, tapi setidaknya cukup untuk keperluan kuliahku selama satu semester agar tidak meminta kepada Ibu. Lagi pula, aku bekerja di tempat itu karena bisa membaca buku-buku baru yang dikirim setiap harinya. Aku memang menyukai buku. Terlebih lagi aroma khas dari buku yang membuatku seperti seseorang yang menggunakan narkoba. Bedanya, bau buku tidak membahayakan dirimu.

Setelah merapikan buku-buku yang baru saja datang pagi tadi, aku bersiap-siap untuk pulang. Setelah berpamitan dengan pemilik toko, Mr Kyle, aku berjalan menuju stasiun kereta bawah tanah untuk pergi ke suatu tempat. Butuh waktu lima menit untuk sampai ke sana.

Kebetulan, besok tidak ada kelas pagi. Jadi aku bisa melakukan pekerjaan lain selain menjaga toko buku. Ibuku bekerja di sebuah restoran sebagai koki, masakannya memang selalu enak dan aku tidak meragukannya, tapi, aku tidak ingin ibuku bekerja terlalu keras demi membayar kuliahku. Karena itu aku bekerja di dua tempat sekaligus agar bisa membayarnya sendiri.

"Aku mendapatkan beberapa orang yang mau digigit," kata seorang gadis yang kelihatannya tidak lebih tua dariku saat melewatiku tadi. Secara fisik dia terlihat berumur tujuh belas tahun, tapi secara harfiah umurnya pasti lebih dari delapan pulun tahun.

Aku bisa melihat gigi-gigi taring vampir itu keluar melalui bibirnya. Orang lain tentu tidak bisa melihat taring itu, tentu jika vampir itu tidak menghendakinya, tapi tidak untukku, aku bisa melihat kaum-kaum immortal yang dianggap sebagai mitologi bagi manusia.

Semua ini dikarenakan aku yang merupakan keturunan Demigod. Ibuku manusia, sedangkan ayahku adalah seorang Dewa. Namun, aku tidak tahu siapa ayahku. Dewa macam apa yang meninggalkan istrinya saat dia sedang mengandung? Awalnya aku tidak memercayainya, karena Ibu tidak mau mengatakan siapa ayahku. Namun, semua itu menjelaskan bagaimana aku bisa melihat makhluk-makhluk immortal itu.

Kata ibuku, hanya ada beberapa Demigod yang tinggal di Bumi. Kebanyakan dari mereka tinggal bersama orang tua Dewa mereka di Olympus. Dan Demigod yang tinggal di Bumi semuanya adalah orang-orang kaya serta terpandang, karena orang tua Dewa mereka yang menopang kehidupan anak-anaknya, walaupun aku belum pernah bertemu salah satu di antara mereka. Namun, tidak bagiku, aku hanya tinggal di sebuah apartemen sederhana di pinggir kota.

Kupandangi penyeberangan jalan yang menunjukkan warna merah bagi pejalan kaki. Aku kemudian berhenti sambil merogoh saku untuk mengambil telepon genggam dan memeriksa kali-kali ada pesan atau panggilan yang masuk.

Namun kemudian, seseorang menubruk bahuku dan berjalan begitu saja ke tengah-tengah penyebrangan jalan padahal lampu belum berubah menjadi hijau. Dari arah kanan aku bisa melihat mobil yang melaju kencang. Seseorang yang menubrukku tadi masih terus berjalan. Tudung yang dikenakannya membuatku tidak mengenali orang itu pria atau wanita. Namun, dari postur tubuhnya, aku bisa mengetahui bahwa dia adalah seorang pria.

Mobil masih melaju kecepatannya dari jauh. Aku kemudian berteriak. "Hey, kau gila, ya?" teriakku dari seberang jalan.

Orang itu masih terus berjalan. Namun, aku tidak membiarkannya begitu saja. Mungkin dia tuli dan tidak mendengarku. Bisa saja, dia juga tidak melihat bahwa lampu penyeberangan masih merah. Dengan cepat aku berlari menuju pria itu dan mendorongnya saat mobil tiba-tiba menabrak tubuhku dengan kencang.

Mataku rasanya berat sekali dan aku tidak bisa merasakan tubuhku dari pinggang ke bawah. Hal terakhir yang aku ingat, sebuah tangan menggapaiku dan aku tidak sadarkan diri setelahnya.

***

Kepalaku terasa pening saat aku membuka mata dan menginjakkan kakiku di lantai marmer. Aku tidak tahu berada di mana. Kamar super besar dengan ranjang super besar.

Aku mendekatkan hidungku ke bantal di sebelahku tertidur tadi dan mencium aroma khas gel rambut pria. Aku terlonjak dan berlari ke arah pintu, kubuka pintu itu sedikit dan mengintip. Seorang pria bertelanjang dada sedang meminum sekaleng soda. Matanya kemudian tertuju padaku dan dengan cepat aku membanting pintu tetutup.

Pria itu menculikku? Apa yang dia inginkan? Aku harus keluar dari tempat ini tanpa sepengetahuannya. Jadi tanpa pikir panjang aku berlari menuju jendela untuk melompat. Jaraknya cukup jauh dan membuatku tergelincir saat menapaki tanah. Aku berlari secepat mungkin, namun pria itu tiba-tiba saja berada di depanku.

Dia kemudian menggotongku untuk dibawa masuk. Namun, aku mengelak dan membuatnya menurunkanku secara paksa, membuatku terjatuh di rerumputan. Pria itu terlihat marah dan dia terlihat akan memukulku. Kututupi wajahku darinya dan saat aku menunggunya, semua itu tidak terjadi.

Saat aku membuka mata lagi, aku berada di kamar yang sama saat aku bangun pertama kali tadi. Aku mencium aroma bantalnya lagi dan persis sama. Aku berlari menuju pintu dan membukanya perlahan, karena aku takut pria tadi melihatku lagi. Dan benar saja, pria itu sedang meminum sekaleng sodannya. Sebelum pria itu menatapku aku sudah menutup pintunya.

"Ini pasti mimpi," kataku meyakinkan diri sendiri. Aku kemudian duduk di pinggiran tempat tidur sambil menutup mataku lalu membukanya. Masih tempat yang sama. Kemudian aku menutup mataku lagi dan membukanya lagi. Masih tetap sama.

Kali ini aku menutup mataku sambil menampar pipiku sendiri. Saat aku membuka mata, tetap saja masih di tempat yang sama. Lagi-lagi aku menutup mataku dan menampar pipiku. "Ini mimpi, ini mimpi! Cepat bangun! Bangun! Bangun! Bang—" mulutku tertutup seketika oleh sebuah tangan. Aku membuka mata dan melihat pria yang tadi aku lihat sebelumnya atau sesudahnya, entahlah aku bingung.

Pria itu masih menutup mulutku. "Berisik tahu!" katanya. "Jika aku lepas berjanjilah untuk tidak berteriak lagi! Atau akan aku jahit bibirmu!" perintahnya.

Aku mengangguk dan tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Pria itu kemudian melepaskan tangannya dari mulutku

"Kau penculik?" tanyaku.

"Penculik apa yang mengaku dirinya penculik? Jika mereka mengaku, maka neraka akan sangat penuh," sindirnya.

Sejujurnya aku tidak mengerti arti sindirannya. Dia membawa-bawa neraka, benar-benar religius. Walaupun dia ada benarnya juga. "Lalu, kenapa aku ada di sini?" tanyaku penasaran.

"Salah kau sendiri, kenapa menyusulku di penyebrangan jalan tadi?" tanyanya dengan nada yang begitu sinis.

"Jadi tadi aku benar-benar tertabrak?" Aku mengangkat kedua tanganku ke kepala tidak percaya. "Dan sekarang aku sudah mati? Ya Tuhan! Bagaimana ini? Aku belum mengatakan apa pun pada ibuku! Aku belum meminta maaf padanya atas semua kesalahanku!" kataku dengan panik.

"Kau kira kita ada di mana?" tanya pria itu lagi dengan wajah datarnya.

Aku melihat ke sekeliling. Sebuah kamar besar dengan ranjang yang empuk. "Surga?" tebakku.

"Kau kira aku malaikat," katanya.

Aku menimbang-nimbang untuk mengatakannya, tapi akhirnya aku mengatakannya juga. "Neraka?" tanyaku ragu.

"Aku berharap sekali ada di neraka, tapi sayangnya mereka mengatakan aku tidak cukup kuat untuk tinggal di neraka." Pria itu menjelaskannya sambil menyeringai.

Aku memiringkan kepalaku. Kali ini aku benar-benar tidak mengerti maksudnya. "Dengar," kataku akhirnya, "aku tahu aku bisa melihat makhluk-makhluk immortal, jadi aku sudah tidak terkejut lagi. Jadi sebaiknya kau kembalikan aku ke Chicago, di mana pun aku berada sekarang."

Pria itu seakan yang terlihat bingung. "Kau ini apa? Bagaimana bisa kau melihatku saat aku menggunakan tudung pesona?" tanya pria itu.

"Tidak penting, yang penting sekarang kembalikan aku ke Chicago."

"Aku tidak akan mengembalikanmu ke Chicago," kata pria itu.

"Oke kalau kau tidak mau, aku bisa panggil my fairy God Father. Dia akan datang dan membawaku pulang," ujarku.

Pria itu menyeringai. Sebuah seringaian yang membuat hatiku terasa menjanggal. "Kau masih ada di Chicago, Seraphim."

SERAPHIM AND THE NEPHALEM √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang