✒16. Khawatir

9.4K 722 15
                                    

Satu jam sebelum pertengkaran.

"Lo bilang apa, Latisa lebih penting." Aretha memiringkan wajahnya tidak percaya. Lantas mobil yang disupiri oleh Avender diberhentikan mendadak karena perdebatan kecil antara Aretha dan Delvian tidak juga selesai.

Perjalanan menuju Jakarta menjadi menegangkan karena perdebatan mereka.

"Reza, kayaknya lo harus balik ke rumah." Ujar Alena menoleh kebelakang. Sedangkan Avender yang paham akan situasinya segera memijit keningnya bingung.

Delvian diam. Tidak menjawab sama sekali apa yang dilontarkan Aretha juga Alena.

"Orang gila." Decak Aretha menyilangkan kedua tangan didada. "Sejak kapan orang yang ngelahirin sampe rela mati, kalah sama siswi sok kecakepan kayak Latisa."

Deg. Alena dan Avender menoleh kebelakang secara bersamaan.

Kalimat Aretha mampu membuat Delvian menoleh dengan tatapan tegas. Matanya mengintimidasi Alena dan Avender agar enyah. Namun Alena menggeleng bak ingin memberi petuah, namun Avender langsung membungkam mulut pacarnya dengan menyuruh Alena juga dirinya keluar dari mobil.

Alena meremas kemeja Avender setelah mereka keluar dari mobil, sesekali matanya melirik kedalam kaca mobil. Gelap, tidak terlihat apapun kecuali teriakan-teriakan emosi dari Aretha. Entah apa yang dibicarakan Delvian disana, tapi jelas Alena paham situasinya.

"Harusnya aku kasih tau Aretha kan. Lihat, dia nangis Van." Alena menutup wajahnya sendiri dengan kesal, matanya berkaca-kaca seolah tau apa yang dirasakan Aretha.

Avender menggeleng, "biarin mereka yang selesain masalah mereka. Kita gak berhak ikut campur Al."

"Tapi Tante Sania,-" Alena mendapat pelukan cepat dari Avender.

"Udah Tante Sania akan baik-baik aja. Selama Aretha dan Delvian gak putus tunangan." Ujar Avender mengelus rambut pacarnya. Sedangkan Alena mengangguk didalam dada bidang menenangkan itu.

BLAAMMMM!

"ARETHA!" Alena melepas pelukan Avender lantas kakinya berlari mengejar Aretha yang baru saja keluar dari mobil dan lari entah kemana. Jalanan nampak lengggang, membuat Avender dengan cepat menyusul kedua gadis itu tanpa perlu khawatir terjadi tabrakan atau semacamnya.

"Lepas kak!" Aretha melempar tangan Alena dengan amarah, matanya menajam namun memerah secara bersamaan. "Lepasin Aretha,

lepasin Aretha da-ri Re-za." Aretha berjongkok, mendadak ia menangis sejadi-jadinya, tanpa sebab yang pasti.

Alena menoleh kesamping, Avender berdiri persis disebelahnya, setengah terengah namun mampu membuat Alena tenang dalam sekejap.

"Apa aku harus,-"

"Hust." Avender menggelengkan kepalanya pada Alena, lalu ia membawa Aretha berdiri.

"Aretha,-" senyum Avender mengusap air mata Aretha. Senyuman Avender makin melebar ketika dia memeluk Aretha dengan erat. "Kakak sudah pernah bilang kan kalau kakak gak suka punya adik ipar cengeng"

Aretha mengangguk didalam dada Avender, "bagus. Sekarang berhenti nangis dan hadapin semua masalah kamu. Kalau bisa kamu selesaikan."

Avender melepas pelukannya, kembali tersenyum dia mengelus pucuk kepala Aretha pelan, dan alhasil membuat Aretha mengangguk patuh.

Kadang, sekeras apapun batu yang ada didalam kepala kita, jika dihadapi dengan senyuman dan hati yang tenang, semua akan jadi baik-baik saja.

"Lanjutin perjalanan yuk." Ajak Avender kemudian menganggeng tangan Alena juga Aretha bersamaan menuju mobil.

The Bad Twins [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang