satu?

63 9 14
                                    

Aku terduduk sendirian di taman depan rumah dengan earphone yang menyumpal kedua kupingku dan secangkir kopi yang kupegang oleh kedua tangan. Ditemani lagu jet black heart dari 5SOS yang bergenre slow rock dan angin malam yang berhembus membelai rambutku yang terurai ini sungguh membuatku tenang walau sekejap.
Aku mengacak rambutku dan menghembuskan nafas dengan kasar, teringat perkataan ibu pada ayah tadi sore "lebih baik kita bercerai, daripada aku harus terus melihatmu bermain dengan wanita lain." Kata-kata itu terus terngiang di telingaku, aku memejamkan mata untuk menenangkan diri kembali, tak lama kemudian terdengar suara pecahan kaca dan tangisan ibuku disusul oleh suara teriakan ayahku, "BAIK, AKU AKAN MENCERAIKANMU." Talak itu keluar dari mulut orang yang dulu sangat menyayangi ibuku.
Bagai ada petir yang menyambar, sungguh hatiku sakit sekali mendengar perkataan ayahku barusan,
aku menyimpan cangkir yang berisi kopi yang tinggal setengah dan beranjak dari tempat dudukku tadi lalu berlari masuk ke dalam rumah, terlihat pecahan mug ayahku yang biasa ia pakai untuk menikmati kopi setiap pagi dan malam hari, ayah menatapku dengan wajah kacau lalu menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil menghempaskan badannya ke sofa. Aku menyusul ibu ke kamar dan melihat ia tengah memasukan baju-bajunya ke dalam sebuah koper. Aku berdiri terdiam seraya menahan air mata di sisi ibu, setelah selesai memasukan baju kemudian ibu memakai jaket biru tua hadiah ulang tahun dari ayah tahun lalu. Ia menatapku dengan mata yang merah lalu menangkup kedua pipiku dan berkata, "jaga dirimu" "dan Ayahmu." Kata ibu seraya tersenyum, tak terbendung lagi air mata ini, aku memeluk ibuku dengan erat lalu berbisik dengan suara yang bergetar akibat menangis "jangan tinggalkan aku Ibu."

Aku Senja, Iris Senja. Baru saja aku menginjak umur 20 tahun, 2 tahun yang lalu orangtua ku bercerai, semenjak itu aku tinggal bersama ayah dan ibu tiriku sedangkan ibuku tinggal bersama nenekku, aku melanjutkan pendidikan  dibidang sastra Indonesia, aku bekerja paruh waktu di sebuah kafe dekat kampus, tujuannya untuk mengisi waktu luang dan menambah uang saku juga.
Hari ini adalah hari yang sangat menegangkan, karena hari ini adalah hari pengumuman lomba membuat cerpen tingkat kota yang telah aku ikuti hari rabu kemarin. Sembari menunggu pengumuman dibacakan aku membuka handphone untuk sekedar membalas pesan yang masuk. Saat pengumuman dibacakan ternyata aku hanya mendapat juara harapan 3, Saat semua pemenang dipersilahkan untuk maju ke depan, mataku terpikat oleh seorang lelaki dengan postur tubuh tinggi, tegap, rambut yg tidak terlalu rapih, memakai setelan black skinny jeans ditambah kaos hitam polos dan kemeja kotak kotak, tak lupa sepatu hitamnya. Ia memegang sertifikat bertuliskan juara 1 di tangan kanannya dan hadiah di tangan kirinya.

Tampilannya sama sepertiku, tidak mencerminkan seperti orang yang menyukai sastra atau seperti kutu buku yang selalu menghabiskan waktunya di perpustakaan.
Memang benar pepatah yang menyebutkan "don't judge book by the cover" pikirku.

Tak terasa sudah jam 8 malam, hari ini sungguh melelahkan walaupun tadi aku izin dari tempat kerja karena pengumuman lomba itu.
Jalanan penuh sekali sampai-sampai aku yang hendak menyebrang saja susahnya minta ampun. 5 menit telah berlalu, aku masih belum bisa untuk menyebrang, lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki bertubuh tinggi yang membantuku menyebrang, setelah sudah menyebrang, aku mendongkakkan kepalaku hanya untuk melihat siapa yang telah membantuku menyebrang, ketika aku lihat ternyata ia adalah orang yang memenangkan juara satu di lomba tadi, secara refleks bibirku membuat senyuman yang lebar, "Kamu yang tadi juara satu itukan?." Kataku dengan tidak tahu malunya dengan senyuman yang sama, ia menjawab "eh? Iya." Seraya membalas senyumanku. "Selamat ya..." kataku menggantung, lalu ia dengan cepat mengulurkan tangannya "Aidan Fajar, panggil saja Fajar." Ia memperkenalkan dirinya sambil menyunggingkan sedikit senyuman. Aku menjabat tangannya, "Iris Senja, panggil saja Senja." Kataku. Tak lama kemudian terdengar seseorang yang memanggil nama Fajar lalu Fajar berpamitan untuk pergi, "eh eh aku duluan ya." Pamitnya, ia mengernyitkan dahinya sambil tersenyum dan melihat ke arah tangan, oh! Bodohnya aku. Aku lupa belum melepaskan jabatan tangan tadi, aku langsung melepaskan jabatan tanganku, dengan cepat ia segera menyebrang karena kebetulan jalan sedang kosong.
Aku langsung jalan ke arah angkutan umum, di dalam perjalanan aku terus menertawakan kebodohanku  tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang