Alam akhirnya membuka mulutnya setelah lama tenggelam dalam kesunyian.
"Lu denger semuanya?"
Aku mengangguk pelan. Rasanya ingin menimpali perkataanya tapi yang dapat kurasakan hanya suaraku yang tercekat di tenggorokan, menolak untuk keluar. Pada saat itu juga Alam memilih untuk menimpali dirinya sendiri dengan sangat pelan.
"Nice," katanya.
Adalah sebuah rahasia umum bagiku dan semua personil Sabtu bahwa kehilangan Raya adalah titik terendah dalam hidup Alam. Lebih rendah daripada ketika ayah Alam menentang keputusannya untuk kuliah di Bandung.
Raya dan Alam goes way back jauh sebelum aku bertemu Alam. Saat aku mengenal Alam dan Raya sebagai satu paket layaknya sumpit yang selalu datang berdua. Raya adalah high school sweetheart-nya Alam semenjak awal kelas dua SMA. Raya yang bermimpi untuk menjadi jurnalis di VOA memilih untuk berkuliah di salah satu PTS di daerah Buah Batu mengikuti jejak Alam yang sudah lebih dulu diterima di ITB lewat jalur undangan. Walaupun terpisah tol dan kemacetan, Alam rela menempuhnya untuk Raya. Pada era ini, Alam selalu membawa mobil kemanapun ia pergi tidak seperti sekarang ia selalu ditemani oleh Martin-motor model sport kesayangan Alam. Aku ingat dulu setiap kali aku diajak nonton latihan Sabtu oleh Wira, posisi Alam selalu sama yitu menemani Raya nugas di lantai tiga sampai harus diseret oleh Swara ke bawah. Tapi sebaiknya, cerita ini akan kusimpan untuk lain hari. Kembali ke Alam.
"Gue gak habis pikir sih dia bakal dateng lagi ke kehidupan setelah ya... begitulah...kamu tahu"
WAIT. Dari kalimat itu yang membuatku tercekat ada satu kata yang adalah: kamu. Alam just said kamu to me. Wow this is serious.
"Well lam, she didn't deserve your time anyways," balasku menyembunyikan pipiku yang mendadak merah dengan menyender ke belakang dan melipat kedua tanganku di depan dada.
Jantungku berdetak kencang saat aku mendapati Alam melirikku saat aku menghindar dari pandangannya. Hush, orang sedang sedih dan terpuruk kok aku sibuk baper. Come to your senses Nya! Lagipula ini Alam yang sedang kita bicarakan. Seseorang yang memiliki dinding pertahanan dan parit dalam menutupi hati dan pikirannya. Orang yang paling menyebalkan di Sabtu. Orang terakhir yang terpikir akan kamu mintai tolong apabila kiamat tiba. Kenapa tiba-tiba kamu jadi sangat lemah Nya!
"I-uh, I-"
Alam mencoba untuk menata kalimat namun malah keluar hanya patahan kata. Entah karena ia ragu atau dia kehabisan hal untuk dibicarakan. Tangannya yang sedari tadi sibuk memainkan jari-jarinya di atas meja berpindah memijat pelipisnya. Aku memandangi wajah alam penuh rasa khawatir. Rasanya ingin aku meraih tangannya dan mengatakan semuanya akan baik baik saja. Tapi aku merasa tidak berhak.
Alam mengadah ke atas, ke arah langit-langit kafe yang bermandikan cahaya emas yang jatuh ke wajahnya. Aku mencoba menahan diri untuk tidak mengatakan hal bodoh yang dapat membuatnya tidak nyaman sehingga tidak ingin berbicara. Namun saat itu juga ujung bibir Alam terangkat membentuk sebuah senyuman. Aku hampir ikut tersenyum juga ketika aku menyadari sinisme di bibirnya yang diikuti oleh kekehan kecil.
"Ah such a bad time for confession" katanya di bawah nafasnya. Setidaknya itu yang aku dengar. Aku tidak yakin apa yang dia maksud dengan itu. Atau apakah aku sedang berhalusinasi.
Confession apa sih maksudnya? Apakah dia ingin mengungkapkan apa yang telah terjadi kepadanya setelah Raya pergi? Apa dia ingin bercerita apa yang ia lakukan setelah Raya pergi? Apa dia ingin membuka kotak pandora berisi masa kelammnya?
Alam berhenti sejenak untuk mengambil nafas lalu memandang ke arah parkiran kosong.
"Mungkin gue memang gak pantas buat Raya sampai-sampai dia melakukan itu ya Nya"
Disini otak bodohku mulai beraksi.
"Kak, kamu nggak inget apa yang dia udah lakuin ke kamu. Kak Alam gak inget betapa-" Aku memutuskan untuk berhenti disitu. Hampir saja, melanggar peraturan yang baru kubuat lima detik yang lalu, 'Jangan mengatakan hal hal bodoh yang membuatnya tidak ingin berbicara.'
"Iya, gue inget kok" balasnya dengan senyum lebar dan keduanya menatapku lekat.
Aku terdiam lagi. Merasa sudah mengatakan hal yang salah dengan mengingatkannya betapa berantakannya Alam ketika ditinggal oleh Raya beberapa bulan silam. Rusak, berantakan. Walaupun beberapa lagu baru Sabtu berhasil ia tulis hasilnya sangat amat galau (regardless memang semua lagu sabtu galau ya, yang ini super galau).
"Gue udah niat move on masalahnya, nya," Alam menoleh, mengalihkan sorotan matanya kepada mataku. Kali ini bukan sebatas lirikan, tapi sebuah kontak mata yang lama dan dalam. Tindakan bodoh lainnya pun kulakukan, aku tidak melepas kontak mataku dengannya. Otakku berteriak keras, meronta ronta ingin melepas kecanggungan yang membuat detak jantungku berpacu lebih cepat. Namun pada sisi lain hatiku ingin mataku terus memandangnya begini saja lebih lama lagi. Aku biarkan hatiku mengambil alih kontrol tubuhku yang sekarang rasanya sangat kaku dan tegang akibat mata Alam yang teduh namun berefek tidak baik bagi jantungku. Baru beberapa milisekon kemudianlah otakku mulai bekerja kembali dan memutuskan kontak mata dan memilih untuk membuat mulutku bekerja.
"Oh iya? Udah kepincut cewek lain ya," tanyaku random diiringi senyum tipis menghindari matanya yang entah kenapa sedari tadi masih terpaku kepadaku.
"Probably, tapi sayang dia yang ngejagain dia galak banget kayak anjing bulldog " jawab Alam sambil terkekeh ringan melepas sedikit kecanggungan. Aku juga ikut tertawa tanpa peduli menebak siapa yang dia maksud. Ya, walaupun aku sedikit (baca: banyak) cemburu dengan siapapun wanita misterius yang sedang ditaksir oleh Alam ini saat ini sebagai teman yang baik aku hanya bisa melakukan apa yang aku bisa untuk membantunya melupakan Raya.
"Ya, minta restulah sama siapa.. itu anjing bulldog. Segalak-galaknya itu yang ngejagain dia pasti kalo niat kak Alam baik pasti dikasih jalan kok. I mean you're not that bad" balasku dengan senyum manis ke arahnya.
"Duh, kok gue malah jadi curhat gini sih," kata Alam menggaruk-garuk kepalanya jenaka sambil nyengir. Aku sedikit terkejut, aku tidak pernah melihat dia tersenyum setulus itu.
"It's okay. Aneh aja aku gapernah liat sisi kak Alam yang ini setelah sekian lama. Its relieving that you still have a human side beside sisi anak bass Sabtu atau sisi mahasiswa desinter berasa tukang perabot"
Alam hanya bisa membalas komentarku dengan lepas tertawa diikuti dengan toyorannya kepada kepalaku yang kubalas dengan memukul pundaknya beberapa kali. Dia hanya bisa mengaduh-aduh sambil meminta ampun dan kedua tangannya melindungi diri dari pukulanku.
Little did I know, maksud confession Alam bukanlah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sabtu.
Ficção AdolescenteSabtu. Hari keenam dalam satu minggu. Sabtu. Setiap malam minggu.