Bagian 1.2

200 0 0
                                    

Pernahkah kau mengalami situasi di mana kau ingin membenci seseorang tapi tidak bisa? Itu yang sebenarnya sedang Wardha alami. Dadanya bergemuruh. Matanya terasa panas. Tapi dia memaksakan diri untuk tersenyum sebelum akhirnya menoleh pada Sari yang melempar senyum serba salah padanya.

Saat ini Wardha dan Sari sedang berada di teras rumah Yani. Selain mereka, ada Yani dan seorang laki-laki, kakak kelas mereka dulunya (ia sudah lulus tahun lalu dan sekarang sedang bekerja di toko ponsel milik tetangga sekaligus menjadi pengantar sarang waletnya). Mereka membicarakan kelulusan mereka. Hanya saja, ketika Yani menceritakan perasaannya campur aduk ketika melihat tanda LULUS di kertas pengumuman yang ia terima, suasana yang semula gembira berubah.

Kakak kelas tadi, yang akrab mereka sapa sebagai 'Abang Rian', mengusap kepala Yani gemas. Hal yang biasa dia lakukan memang ketika merasa tingkah Yani begitu menggemaskan. Siapapun yang melihat pasti menyadari bahwa sikap Rian pada Yani bukan sebagai 'Abang-adik' seperti yang sering mereka ucapkan, tapi sikap seorang lelaki pada pujaan hatinya. Semua tahu. Hanya saja Yani enggan menerima fakta tersebut.

Wardha yang semula menceritakan kelulusannya dengan perasaan gembira bercampur malu karena di dekatnya saat ini ada orang yang dia suka, berubah merana. Ia memalingkan wajah. Mengatur emosinya yang bergejolak dengan senyuman dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa tak ada yang menyadari kalau dirinya mempunyai perasaan khusus pada Rian.

"Abaanggg!!" teriak Yani kesal dengan nada manja yang kentara. Dia menepis tangan Rian yang berusaha mengelus kepalanya sekali lagi.

Wardha mendengus. Tak yakin apakah sikap Yani yang manja kepada Rian memang hanya sebatas sikap manja adik terhadap abang angkatnya, atau sikap anak gadis yang sedang mencari perhatian lelaki yang disukainya. Walau ia berusaha mempercayai pemikirannya yang pertama, tetap saja kadang pemikiran kedua lebih mengusiknya.

Sungguh, Wardha ingin sekali membenci sikap Yani yang seperti ini. Seakan memberi harapan pada Rian. Seakan mereka akan selalu bersama dan dekat seperti ini tanpa ada yang bisa menyelip di antara mereka. Ingin marah karena merasa Yani hanya pura-pura tidak tahu perasaan Rian. Ingin memaki karena meyakini Yani sebenarnya tahu tapi memilih menggantung perasaan Rian. Meski setahu Wardha, Rian sendiri belum pernah mengungkapkan perasaannya pada Yani. Hanya padanya. Menyedihkan bukan?

Sial! Wardha merutuk kesal.

"...Dha? Wardha??" panggil Yani beberapa kali karena melihat Wardha yang berpaling dari dirinya dan menatap kosong ke arah lain. "Dha!" panggilnya lagi kali ini sambil menepuk pundak Wardha.

Wardha terkesiap. Ia cepat-cepat merubah ekspresi wajahnya dan menghiasinya dengan senyuman. "Eh? Apa?"

"Abang Rian membawa12) kita ke Pasar Malam. Ikam umpat13) kalo? Sari umpat. Septi jua," ujar Yani.

Wardha menatap Rian sekilas. Tampak laki-laki itu menunggu jawabannya. Ia lalu mengangguk. "Boleh. Tapi seperti biasa, jemput aku di rumah. Ikam tahu sendiri ayahku kada mengijinkanku keluar malam kalau kada ikam atau Sari yang menjemput."

"Siippp. Gampang itu!" jawab Yani semangat sambil mengacungkan jempolnya.

Wardha tersenyum kecil. "Eh, tapi jemputnya sore saja. Sekitar pukul 5. Aku baru ingat aku janjian dengan kekasihku di pelabuhan. Jadi ikam jemput dan temani aku. Sebentar saja." Ia melirik ke arah Rian yang tampak biasa-biasa saja ketika ia menyebut kata 'kekasih'. Meski sudah menduganya, Wardha tetap merasa kecewa. Pilu bergelayut di hatinya.

"Kakak kelas yang ikam kisahkan14) itu?" sambar Sari.

Wardha mengangguk.

"Terus terang aku masih meragukan kalau ikam pacaran dengan inya gara-gara ikam suka inya," kata Yani dengan mata memincing tajam.

Wardha mencibir dengan ekspresi risih. Ia tak suka melihat Yani mengusik perihal perasaannya. Tahu apa dia? Rutuknya dalam hati.

"Aku malah tak yakin kalau inya baik untuk kam jadikan pacar," Rian ikut-ikutan menyampaikan pendapatnya.

Wardha menatap Rian penuh harap. Tak menyangka bahwa kalimat manis itu meluncur di bibir Rian, untuknya. Wardha nyaris saja melambung karena bahagia sebelum akhirnya mendengar kalimat Rian selanjutnya.

"Tapi bukan berarti aku peduli juga," kata Rian santai. Tak sadar bahwa kalimatnya itu membawa badai hebat di hati Wardha.

Yah, mungkin benar kata sebagian orang. Bahwa lebih baik dicintai dari pada mencintai. Wardha sangat memahami hal itu sejak dia mulai menyukai si Rian ini.

--------

catatan kaki:

11) Ikam / kam : kamu

12) Membawai : mengajak

13) Umpat : ikut

14) Kisahkan : ceritakan

Catatan Penulis: novel ini telah terbit di playstore dan scoop. untuk versi lengkap nanti bisa baca di sana. ketik aja di pencarian Orina Fazrina. lalu pilih Dengarlah Rindu.

Happy Reading!


Salam hangat,

Orina Fazrina


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 25, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cuplikan Novel Dengarlah RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang