Selasa Kelabu

9 0 0
                                    

Hari itu merupakan hari terberat bagi diriku. Sungguh keputusan untuk mengakhiri hubunganku dengan Nino ini sudah kupikirkan dan kupertimbangkan masak-masak. Dan akhirnya hari itu pun tiba, dengan hati mantap, kucoba untuk menghadapi hari ini, menghadapi gejolak dalam diriku, serta menghadapi dirinya untuk mengatakan semuanya. Walaupun tidak munafik, hatiku terasa deg-deg-an tak menentu. Apa yang akan terjadi hari ini, aku tak tahu.

Bismillahhirohmanirrohim. Ku buka pintu gerbang kost-an Nino lalu kuketuk pintu belakangnya, Tante Donna yang sedang memasak di dapur sudah melihatku dari kejauhan, "Tasya" panggilnya seraya agak berteriak. "Halo, pagi Tante" sapaku. "Pagi, Sya" jawabnya. "Tumben pagi-pagi kamu sudah sampai sini? Nggak dijemput Nino?" ujarnya keheranan sambil menyambut salam dariku. "Iya nih, maaf aku langsung ke atas ya, Tante" jawabku singkat tanpa basa-basi sambil tersenyum kepada Tante Donna. Aku langsung menaiki tangga menuju kamar Nino. Aku enggan berlama-lama berbicara dengan Tante Donna karena aku benar-benar ingin langsung ketemu Nino. Terlihat Tante Donna terbengong melihat sikapku yang begitu. Sangat berbeda dengan sikapku bila bertemu Tante Donna.

Suasana ruangan atas masih remang-remang, hanya ada sedikit sinar matahari memasuki celah di daun jendela di ujung lorong yang menuju kamar Nino. Pandanganku langsung tertuju pada pintu kamar Nino yang masih tertutup rapat. Kuberanikan diri untuk mendekat ke kamarnya. Hatiku benar-benar kebat-kebit tidak karuan, apa benar sikap yang akan kuambil ini? Apa harus kuurungkan niat ini? Sejenak ku terdiam di depan pintu kamarnya. Gejolak dalam diriku berkecamuk. Tidak jawabku. Aku harus berani mengambil sikap tegas. Akhirnya kuketuk pintu kamar itu...Tok..tok Tak terdengar sahutan. Kuketuk lagi dengan lebih keras Tok...tok kudengar jawaban mengerang Erhhh.... Pintu kamar itu pun terbuka. Terlihat sosok Nino, pacarku yang baru bangun tidur. Masyaallah ujarku dalam hati, sungguh aku sangat rindu pada dirinya, wajah yang sudah jarang kulihat beberapa bulan belakangan. Rindu ini begitu terasa menggebu.

Terlihat gurat kaget yang tidak terbayangkan olehku sebelumnya. "Tasya!" ujarnya sambil agak membuka matanya lebar-lebar. Sepertinya kedatanganku secara tiba-tiba ini sukses membuat dirinya kaget. Aku tersenyum, lalu berkata "Aku mau bicara". Mendengar nada serius yang kuucapkan, Nino membuka lebar kamarnya dan menyuruh aku masuk. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka, sehingga tidak timbul fitnah dari orang-orang kost yang lain. Aku duduk di lantai, sambil menaruh tas yang sedari tadi kuselempangkan di bahuku. Nino pun duduk di tempat tidurnya dengan wajah kusut, maklum baru bangun tidur. Ku pandangi isi kamarnya itu, kamar kost Nino memang tidak begitu luas, namun bersih. Nino adalah laki-laki yang cukup memperhatikan kebersihan dan kerapihan, lain dari laki-laki kebanyakan yang kamar kost nya berantakan. Sudah cukup sering aku mampir ke kost-an ini, kamar Nino tak ada satupun yang berubah. Kupandangi dinding kamar Nino, tak telihat fotoku dengannya yang selalu terpampang di situ. Aku hanya bisa miris menyikapinya.

Nino membuka omongan sebelum aku sempat untuk memulai pembicaraan yang ingin aku sampaikan kepadanya. "Kamu ke sini sama siapa, Sya?" tanyanya lembut. Omongan Nino membuyarkan lamunanku. "Ummm...sama teman, tadi aku di drop di depan komplek" jawabku singkat. "Kamu nggak ngantor hari ini?" tanyanya lagi. "Nggak, No. Aku sengaja izin satu hari ini hanya untuk ketemu kamu" jawabku. Aku hanya ingin langsung berbicara pada intinya tanpa perlu untuk menjelaskan panjang lebar kenapa aku tidak masuk kantor. Kuyakin Nino pun tahu maksud dan tujuan aku ke sini.

Kupandangi wajah Nino yang terlihat lelah itu, sungguh rasa rindu yang menggebu menyeruak lagi ke dalam diriku, ingin rasanya aku memeluknya, namun kupaksa diriku untuk menahan rasa itu sekuat tenaga. "Aku kesini hanya ingin ngomong sama kamu, karena kamu susah sekali untuk dihubungi" ujarku sambil mengusap keringat dingin yang mengucur di wajah, sungguh aku tidak kuat, namun aku harus menghadapinya.
"Kenapa kamu sulit sekali aku hubungi, No? Aku kirim Whatsapp selalu tidak masuk, aku telepon hanya mailbox yang menjawab, aku tidak bisa sama sekali menghubungi kamu, maksud kamu apa? Padahal sudah hampir dua bulan ini tidak tidak bertemu" aku berkata padanya dengan menggebu dengan suara bergetar. Kumencecar Nino dengan pertanyaan yang ingin sekali kudapatkan jawabannya. Raut muka Nino terlihat berubah, terlihat tidak nyaman dan kikuk. "Umm...Aku sedang malas untuk dihubungi oleh siapapun, aku sedang banyak sekali pekerjaan, masa kamu nggak ngertiin pekerjaan aku sih" jawabnya ketus sambil memandang ke arah lain, bukan ke arah wajahku. Ini jawaban yang tidak memuaskan dan aku tidak bisa terima semua itu. Kemudian dengan nada agak meninggi aku pun berkata "Maksud kamu apa, tidak mau dihubungi oleh siapapun? Termasuk aku? Termasuk keluarga kamu juga? Semua orang?" lanjutku. Nino terdiam, dahinya berkerut sepertinya dia sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaanku. "Iya, aku nggak mau dihubungi sama orang kantor, orang rumah, juga kamu" jawabnya sambil kali ini menatap tajam ke arahku. Deg, benar-benar kata-kata yang langsung menohok hatiku. Ya Allah sakit sekali hatiku mendengar jawaban yang begitu ketus darinya, ini bukan Nino yang aku kenal selama ini. "Ke....Kenapa?" jawabku dengan suara tercekat menahan tangis. "Ya, aku memang lagi stress saja, nggak mau diganggu, aku tuh lagi butuh support" lanjutnya. "Support? Support apa maksud kamu? Bagaimana aku bisa dukung kamu, support kamu, kalau kamu sendiri tidak bisa dihubungi?" jawaban itu terlontar dari bibirku yang tak bisa lagi menahan tangis yang mau pecah sejak tadi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 27, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Dear BrotherWhere stories live. Discover now