Sambil dibawa melewati pohon-pohon, Nami terus memandang ke bawah. Meski gelap, ia tahu jaraknya cukup tinggi dari tanah. Sepertinya ia tidak ingin berinisiatif melepaskan diri dan jatuh mendarat di sana. Ia juga bisa merasakan kecepatan lari Absalom sambil membawa dirinya. Nami memperkirakan sudah sekitar lima menit ia melintasi hutan. Seberapa jauhkah, batinnya.eberapa jauhkah, batinnya. Namun bukan itu yang ia khawatirkan sekarang, tiba-tiba kepalanya dipenuhi pertanyaan. Nami juga melihat bayangan misterius tadi gereja.
Bayangan lilin yang tadi itu apa?
JDUAKKKKKKK!
"GYAAAAAAA!" jerit Nami saat ia benar-benar terjun jatuh seorang diri dengan dada di bawah karena ia tidak siap sambil berusaha melindungi kepalanya secara spontan. Untung ia melewati ranting-ranting sehingga jatuhnya sedikit melambat plus banyak daun berguguran di atas tanah untuk menjadi bantalnya.
Ada yang menabrak mereka dari belakang.
"Ugh." Dadanya sakit karena menghantam tanah tapi ia bisa merasakan tidak ada luka dalam yang serius. Yang retak justru salah satu lengannya karena tadi ia pakai juga untuk menahan tubuhnya. Setelah dirasa cukup mengontrol rasa sakitnya, Nami pun mendongak untuk melihat apa yang terjadi.
Srrrrrttttt.......
Terdengar bunyi benda yang diseret.
Kemudian terdengar raungan Absalom disertai suara tulang patah seperti robekan kertas seolah tulang itu terpisah dan tercerabut dari tubuh. Dan suara itu bukan hanya terdengar sekali.
Nami mencoba menerka, apakah itu lengan? Atau kaki?
Ia pun mencoba melihatnya lebih jelas lagi, untuk itu ia duduk di balik pohon. Ada makhluk aneh bersayap dan bertanduk yang menindih seseorang–kemungkinan besar Absalom. Sepertiga tangan makhluk itu terbenam di dada Absalom seperti tengah meremas sesuatu di dalamnya. Kemudian ia pun mengambil sesuatu dan terlihat mengeluarkan sebuah benda bulat.
POPS!
Tubuh Absalom tiba-tiba mengkerut seperti mumi dan hilang menjadi pasir--abu dari jasad vampir.
.
.
KRAUK KRAUK...
Selanjutnya terdengar suara makhluk itu tengah memakan sesuatu. Benda bulat itu.
.
.
Jantung.
.
.
Mata Nami nyaris tak berkedip melihat pemandangan penuh horor itu. Ia tahu betul vampir tak menghabisi korbannya sampai tahap sebrutal itu. Vampir tidak memakan daging manusia, hanya mengambil darahnya saja. Lantas itu makhluk apa? Vampir pun ia makan.
Diable...
Samar-samar Nami teringat kata Absalom. Apa itu makhluk yang dimaksud? Tapi itu hanya mitos kan?
"Nami-san, kali ini kau harus lari..."
HAH!
Tersadar dari lamunan, Sanji ternyata sudah sampai di hadapannya sambil mendesis begitu dekat.
Sedekat napas mereka.
Nami merasa ia tengah bermimpi sesaat karena seolah bisa mendengarkan suara Sanji yang menuntunnya. Padahal yang di depannya bukan sosok Sanji yang biasanya lembut dan ramah padanya. Selain sepasang tanduk besar dan sayap yang telah ia lihat sebelumnya dari jauh, Nami dengan jelas melihat iris mata Sanji yang merah menyala di tengah gelap--sebelumnya berwarna biru gelap. Urat nadi lehernya terlihat mencuat sampai ke area pipi. Sekujur seragam hitamnya basah dan hangat oleh darah, darahnya sendiri dan darah orang lain, memancarkan bau anyir yang menusuk hidung. Namun demikian, ia masih bisa tersenyum menatap Nami.
Senyuman yang sangat berbeda.
Dengan memperlihatkan taring tajamnya yang tidak hanya berjumlah dua buah di deretan rahang atas saja, tapi seluruhnya; atas-bawah.
Dan, ia kelihatannya sangat lapar. Lapar... Bahwa jantung yang ia makan tadi sangatlah kecil untuk dapat memuaskan perutnya. Maklumlah, ia baru saja bangkit.
Air mata Nami pun menetes. Bukan karena ia takut. Ia sudah digembleng keras untuk itu dan ia sadar betul ia menjalani profesi penuh risiko kematian ini. Hatinya lah yang menangis....
.
.
"Nami-san, kau tahu? Hanya kaulah yang paling tak ingin kusakiti," kata Sanji suatu hari saat mereka berdua tengah bercumbu.
"Gombal," balas Nami. Tentu saja gombal, batinnya saat itu. Kau setelah ini akan memangsaku kan?
.
.
...menangisi keironisan mereka berdua.
Ia tak mempercayai Sanji. Ia meragukan dirinya. Ia bahkan tak menuruti perintahnya untuk lari. IA INGIN MEMBUNUHNYA TADI! Tapi, Sanji menampik semua itu. Dan sekarang sudah terlambat. Sanji terluka dibuatnya. Sanji sekarat karenanya. Sanji bahkan sampai berubah ke wujud berserk, itu semua demi dirinya. Secara tak langsung, ialah yang sekaligus membangkitkan gen terkutuk dari vampir.
Nami pun mengulurkan tangannya selagi masih bisa, menyentuh pipi Sanji meski ia tak berharap apapun. Sanji yang seharusnya tak akan melukai dirinya.
"Sanji-kun... Aku minta maaf..," bisiknya, kali ini dengan tulus dan segenap perasaannya.
Hanya itu yang bisa ia katakan untuk pertama dan terakhir kali sebelum ia akhirnya melihat bulan di atasnya semakin cerah memerah di bola matanya.
BAGIAN I SELESAI
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bright Fullmoon Teaser:
"Kau yakin, Robin? Katamu ia sudah tak ingat apa-apa lagi tapi kenapa ia masih membawa-bawa tengkorak itu?" tanya Zoro memandang iblis itu lekat. Cih, perasaannya masih tertinggal ya, batinnya. "Kau menyedihkan. Bersiaplah, aku akan membebaskankanmu, heh lintah."
Dan, bulan purnama pun mengubah wujudnya menjadi monster. Ya, dialah Sang Pemotong Iblis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Moons
FanfictionKisah dibagi dalam 2 bagian. Alternative Universe-Dark World. Horror/Tragedy. Bagian I: Red Moonlight (Vampire). Tokoh utama: Sanji "Dua buah kilatan tajam beradu dalam keremangan. Belatimu yang siap menghujam jantungnya atau taringnya y...