SATU

31 1 2
                                    


"Hei, Won!"

Seorang perempuan kecil mendatangi temannya yang sendirian menunggu jemputan. Tapi anak laki-laki yang dipanggil Won itu tidak menggubris, hanya diam menatap hujan deras yang tidak juga berhenti. Berharap seseorang akan muncul di balik tirai hujan.

"Kamu sendirian ya?" tanya anak perempuan itu lugu.

Tidak ada jawaban. Anak laki-laki itu hanya duduk memeluk dirinya sendiri.

"Belum dijemput ya?" tanyanya lagi karena yang ditanya tidak menjawab.

Anak laki-laki yang ditanyainya itu mulai sebal. Tampangnya mulai aneh dan sebulir air mata menyembul di ujung matanya. Tapi dia menahannya. Tidak boleh menangis! Anak laki-laki tidak boleh menangis! Batin anak laki-laki itu.

"Hei Won, kamu menangis?" anak perempuan itu kembali bertanya polos yang membuat anak laki-laki itu jebol pertahanan dan menangis keras. Semakin kesal dan ingin menjawab dengan kasar maka semakin air mata keluar tanpa komando.

"Hei kamu kenapa?" anak perempuan itu sekarang berjongkok di depan anak lelaki itu.

Anak laki-laki itu mulai sesegukan, "Hu... huu... aku benci hujan..."

"Kenapa? Kalau hujan kan asik??"

Wajah anak laki-laki itu mengeras, "Aku benci hujan! Mama selalu datang terlambat menjemput kalau hujan. Hujan itu menakutkan! Suaranya mengerikan!"

"Ah, kalau hujan petani akan senang karena ada air. Ikan-ikan juga senang. Oh, iya kalau hujan ada pelangi nanti. Terus, kata mama..."

Anak laki-laki itu menjorong perempuan di depannya. "Duuh..." rintih anak perempuan itu.

"Pergi sana!"

Gantian anak perempuan itu yang memasang wajah sebal, "Katanya takut sendirian kalau hujan?" lalu duduk di samping anak laki-laki itu.

"Kalau begitu aku temani kamu sampai mamamu datang," anak gadis itu melanjutkan.

Anak laki-laki itu hanya diam. Menoleh sekali lalu kembali menatap hujan dengan keras. Berharap tirai hujan terbuka dan seseorang segera menjemputnya.

Zzzz... hujan semakin deras anak perempuan itu malah berdiri dan berjalan menuju hujan sambil tertawa-tawa senang. Menikmati hujan mengguyurnya dan membasahi tubuhnya. Sesekali dia mengajak anak laki-laki itu tapi ditolak mentah-mentah. Setelah puas, anak perempuan itu kembali duduk di samping anak lelaki itu.

"Menyenangkan loh!" anak perempuan itu memberi tahu."

Tidak ada jawaban dari anak laki-laki di sampingnya, anak perempuan itu memilih untuk ikut diam sambil berdendang.

Tik tik tik

Bunyi hujan di atas genting

Airnya turun tidak terkira

Cobalah tengok dahan dan ranting

Badanku juga basah semua

Tak lama tirai hujan dibelah oleh seseorang dengan payung di tangannya. Anak laki-laki itu langsung berdiri, wajahnya cerah.

"Tina, ayo pulang..."

"Ibu!" sorak anak perempuan itu menyahut ibunya sambil berlari memeluk kaki ibunya. Anak laki-laki itu duduk kembali, lesu, dan semakin jengkel.

"Anak nakal! Sudah berapa kali ibu bilang jangan main hujan! Nanti sakit," kata ibu Tina sambil mengelap badan anaknya dengan handuk yang dibawanya untuk jaga-jaga. Karena benar tebakannya, anak satu-satunya ini akan tetap bermain hujan meskipun dimarahi berulang kali.

"Du duuh ibu, kan asik..." anak perempuan bernama Tina itu mengelak.

Ibunya memasang tampang marah, tapi lalu mengusap kepala anaknya. Anak laki-laki itu hanya diam, iri, memandang adegan anak dan ibu tersebut. Merasa diperhatikan, ibu Tina menoleh pada anak laki-laki itu, "Tina, temanmu?"

"Ah, iya Bu. Dia belum dijemput."

"Oh begitu..." Ibu Tina mendekat pada anak laki-laki itu. Tersenyum, "Kau lapar sayang?"

Anak laki-laki itu terkejut. Dia diberi senyum, dia disapa, bahkan dia diperhatikan. Hatinya hangat. Air matanya hampir keluar lagi tapi ditahannya dengan menggeleng.

Ibu Tina mengeluarkan kotak makan yang sebenarnya akan disantapnya di tempat kerja. "Ayo dimakan."

Anak laki-laki itu mengambil kotak makan yang ditawarkan ibu Tina. membukanya dengan malu-malu lalu menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya sendiri.

"Kau pasti lapar," ujar ibu Tina tersenyum.

"Ibu tidak berangkat kerja? Nanti terlambat loh... Tina di sini saja dulu, menemani Won sampai dijemput."

Ibu Tina tersenyum sambil megusap kepalanya lagi, "Anak baik. Kuncinya di tempat biasa ya sayang, ibu pergi kerja dulu." Ibu Tina beralih pada anak laki-laki di depannya, "Nah, makan yang banyak ya," kata ibu Tina sambil tersenyum.

Ibu Tina mencium kening Tina lalu mengelus kepala anak laki-laki teman Tina itu.

Setelah mencium tangan ibunya, Tina kembali duduk di samping anak laki-laki itu. Tersenyum, "Enak kan masakkan ibuku?"

Anak laki-laki itu hanya diam terus menyantap makanan di depannya. Tina menyilakan anak laki-laki di sampingnya untuk melanjutkan makan sedangkan dirinya menikmati irama hujan.

Beberapa menit mereka dalam keheningan ditemani irama hujan siang itu.

"Ah, itu pasti jemputanmu!" seru Tina semangat.

Benar saja karena mobil itu berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang wanita berwajah asing turun dari mobil. Wanita itu cantik. Modis. Tina tidak mengerti apa yang wanita itu katakan, dia hanya mendengar temannya itu dipanggil. Sudah cukup membuatnya lega, anak laki-laki itu berwajah sedikit cerah.

Anak laki-laki itu mendekat padanya dengan kotak makan belum habis isinya seakan bertanya "bagaimana ini? Belum habis..."

"Kau suka kan?"

Anak laki-laki itu hanya mengangguk.

"Bawa saja kotak itu, besok saja dikembalikan."

Anak laki-laki itu tersenyum, "Terima kasih" katanya sambil masuk ke mobil.

Sebelum pintu mobil ditutup, Tina terlintas sebuah ide yang langsung saja diucapkannya dengan nyaring karena bersemangat. "Besok akan kubawakan lagi makan siang."

Tina melambaikan tangan. Tepat sebelum pintu ditutup anak laki-laki itu kembali tersenyum dan membuat Tina semakin melambai dengan semangat. Mobil itu pergi membelah tirai hujan. Tina berjalan dengan riang menembus hujan.

Menikmati cipratan yang diciptakan di setiap hentakan kakinya. Bersenandung riang. Kadang menirukan suara kodok yang bernyanyi karena senang turun hujan.

After The RainWhere stories live. Discover now