Saka

9.2K 248 3
                                    

Nampaknya Saka sudah menceritakan sepenggal kisahku dengannya saat awal perkenalan. Iya, diam-diam aku memperhatikan tulisannya. Aku sedikit tersenyum ketika membaca tulisan itu, mengingat-ingat setiap detail kejadian yang lalu berputar ulang di kepalaku. Rasanya semua seperti baru saja terjadi. Padahal, kisahnya sudah lama berlalu, bahkan seluruhnya sudah bisa kamu baca pada KALA.

Hari ini aku ingin sedikit bercerita, lagi-lagi tentang apa yang kemarin belum sempat kusampaikan pada KALA. Apakah kamu rindu dengan kisah-kisah itu? Atau memang hanya aku saja yang belum puas untuk merindukan seluruh memori kemarin?

Baiklah, aku malas berlama-lama, kali ini aku ajak kamu kembali pada kejadian yang sempat mengawali semua kisah terjadi. Redakan degup jantungmu, mari kembali mengulang, semoga masih dengan rasa yang sama.

Ah ya aku lupa mengingatkan sesuatu padamu. Bila beberapa hal ada yang terlupa olehmu, kembali saja membuka KALA. Sebab apa yang tertoreh di sini hanya sebagian darinya, bukan seutuhnya apalagi sepenuhnya.

[Bandung. Kesempatan ketiga]

"Ra, yang tadi itu cuma sesuatu yang gak ada apa-apanya."

"Orang-orang yang denger pasti nilai kamu lagi ngerendah. Padahal mah kamu lagi enggak percaya aja sama dirimu sendiri, Ka." Aku berpaling menatapnya sambil tersenyum jahil. Saka menatapku dengan tatapannya yang mengunci.

"Sekarang selain jago nulis kamu juga belajar jadi cenayang?" tanya Saka sambil tertawa.

"Untuk sesuatu yang terbuka dan keliatannya begitu jelas emang aku harus jadi cenayang dulu?" ucapku sambil meneguk kembali cangkir capuccinoku.

Saka kemudian hanya memicingkan matanya menatapku sambil sedikit tersipu, "aku kayak udah kenal lama sama kamu, Ra."

"Tau enggak? Aku percaya kalo di satu waktu di masa lalu kita pernah ketemu sebagai kita yang lain." Jawabku kemudian.

"Hmm...reinkarnasi maksudmu?"

Aku hanya mengangguk dan kemudian percakapan di antara kami seolah tak pernah usai. Saka kemudian kembali berapi-api menceritakan apa yang ada di kepalanya. Sepertinya sudah sejak lama coba dia tahan tak disuarakan. Tak terasa waktu sudah bergulir menuju pukul sepuluh malam.

Aku segera bersiap dan tak lupa berpamitan pada Saka. Namun belum sempat aku beranjak, Saka sudah menghadiahkanku sebuah ajakan untuk hari esok hingga hari di mana pameran akan usai. Tak perlu menunggu waktu lama untuk kemudian aku menerima ajakan itu.

Well, sebetulnya aku juga sudah menantikannya sedari tadi. Begini, maksudku aku merasa tertarik untuk mengenal Saka lebih dari tiga hari ini. Setidaknya membuat Saka menjadi lebih terbuka dan percaya dengan dirinya sendiri. Bukan karena apa, hanya saja aku percaya bahwa satu kebaikan yang tersemai akan kembali menjelma menjadi sebuah penolong pada satu titik waktu di hari kemudian.

***

"If only, you open yourself, Saka."

Ingat aku pernah mengatakannya pada hari ketiga pertemuan kami? Hari di mana akhirnya dia, Saka, mengajakku untuk menghabiskan waktu dengannya. Wow! Menghabiskan waktu, literally menghabiskan waktu hanya dengan Saka tanpa orang lain. Aku ingin tertawa sebenarnya jika mengingat itu semua. Bayangkan saja, aku benar-benar hanya bersama dengan orang asing yang baru saja aku kenal dalam waktu tiga hari.

Oh baiklah, takkan kubahas tentang bagaimana perasaanku atau bagaimana isi kepalaku pada waktu itu. Karena semuanya sudah bisa kamu baca pada KALA. Seingatku aku sudah lengkap menceritakannya di sana, termasuk dengan pipiku yang diam-diam merona atas ajakan itu. Oke, mari aku persingkat saja.

[Bandung. Kesempatan keempat]

"Apa alesan kamu ngajak aku ke sini? Well, I mean, apa yang menarik dari tempat ini Saka?" tanyaku sesudah sampai di tempat yang Saka janjikan.

"Semua tempat punya sisi menariknya masing-masing kan? Hmmm, kenapa aku ajak kamu ke sini? Karena...dari taman foto inilah akhirnya aku bisa kenal sama kamu."

Aku yang sedang memerhatikan sekitar kemudian menoleh ke arahnya sembari mengernyitkan dahi, "bentar, maksudnya gimana? Kan kita ketemunya bukan di sini. Trus hubungannya di mana?"

"Taman ini biasa dipake sama komunitasku buat kumpul-kumpul. Karena aku ikut komunitas fotografi itu juga kan secara enggak langsung bikin aku bisa kenal sama kamu, Lara." Jelas Saka kemudian dan hanya diikuti anggukan dariku.

Selama beberapa saat aku dan dia hanya diam memerhatikan sekitar. Dia dengan isi kepalanya sendiri, sedang aku sedang sibuk menikmati detik yang bergulir dengan teramat nyaman. Hingga kemudian sebuah pertanyaan bergulir dari bibirku, "kamu sejak kapan suka foto?"

"Sejak aku sadar gabisa nulis sebagus kamu, Ra. Hehe."

"Itu pujian yang memancing aku untuk muji kamu juga atau gimana ya? Aku nanyanya serius ih,"

"Loh jawabanku juga serius, Lara. Pokoknya semenjak aku sadar, kalo aku gabisa nulis buat nyampein perasaanku. Yaaaa, aku nyoba menyampaikan pesan itu lewat media yang lain. Melalui lukisan-lukisan cahaya yang aku ambil."

Aku mendengarkan setiap ucapannya dan memerhatikan caranya menjawab dengan saksama. Mencoba menemukan hal yang dia sedang sembunyikan dari tiap kalimatnya. Kilat matanya tak pernah bisa berdusta, sepertinya Saka tengah menimbang-nimbang apakah dia harus mulai terbuka seperti perkataanku pada malam kemarin atau justru tetap bungkam.

Aku hanya tersenyum mengetahui hal itu, hari ini aku berjanji pada diriku sendiri. Untuk tidak lelah tersenyum, untuk tidak terburu-buru menanggapi, untuk mendengarkan aktif dan untuk membuatnya percaya padaku. Jangan tanya kenapa, karena aku sendiri tidak tahu mengapa ingin menjadi seseorang yang bisa dipercayai olehnya.

Karena dari apa yang aku ingat, seluruh fotonya, menggambarkan sesuatu yang mirip dengan apa yang aku alami. Dan dari pernyataannya barusan, aku tahu, dia sedang melarikan diri dari sekitar yang tak mampu memahami. Sama seperti aku, hanya mungkin kami menggunakan media yang berbeda untuk mengosongkan perasaan.

"Anyway, kamu di Jakarta udah kerja Ra?" Saka kemudian mengajukan pertanyaan.

"Mukaku masih keliatan kayak anak abege emangnya?" selorohku yang kemudian disambutnya dengan sebuah tawa.

"Oke ganti pertanyaan, kamu kerja sebagai apa Ra?" tanya Saka.

"Jadi editor, di sebuah penerbitan gitu. Kalo kamu?"

"Designer freelance gitu. Kerjanya ya kalo ada proyek aja. Enggak punya jam kerja tetap yang bikin bosen."

Aku sedikit tersenyum kecil mendengar jawaban dari Saka, belum sempat aku menimpali ucapannya. Saka sudah lebih dulu mengajakku berpindah tempat. Katanya masih banyak tempat-tempat di Bandung yang harus aku tahu. Tempat yang memiliki daya tariknya masing-masing, tempat yang biasa digunakannya untuk hunting foto.

***

Tunggu dulu, aku tak ingin menceritakan semuanya secara panjang dan langsung utuh kepadamu. Karena rasanya tak adil saja. Begini, aku membutuhkan waktu yang panjang untuk akhirnya membuat kisahku bergulir dan sampai di tangan kalian. Lalu, kalian hanya menerimanya hanya dengan sehari duduk saja? Oh tak, aku takkan membiarkannya. Atau begini saja, coba cari tahu dulu kisah sebagian KALA dari sisi Saka. Siapa tahu, ada beberapa rahasia yang juga terkuak di sana. Selamat bermain dengan ceritaku dan Saka, tapi tolong, sesekali bawa juga perasaanmu ikut serta. Agar kamu tahu, seperti apa rasanya menjadi aku.

KALA (extended)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang