10 Jangan Pernah Menyesal
"Siwi!"
Ya ampun, itu Allan. Kenapa ada di kampusku?
"Kamu sudah pulang?"
Allan seperti biasanya, selalu rapi dengan setelan formalnya. Meskipun tidak memakai seragam, otot kekarnya menunjukkan pekerjaan apa yang dia lakukan. Dia seorang polisi yang ramah dan suka tersenyum. Lelaki yang memasukkan sebelah tangan ke saku celananya itu terlihat manis di balik tubuh tegapnya.
"Aku baru saja selesai."
"Kebetulan. Aku ingin mengajak makan, sekarang makan apa namanya?" Allan melirik arlojinya.
"Makan siang kesorean atau makan malam kesiangan?"
"Allan, aku minta maaf karena waktu itu tidak sempat pamit kepadamu. Apa sekarang kamu ingin mengajakku ke rumah bertemu Tante Stella?"
"Oh iya Wi, kupikir mama terlalu menakutkan untuk kamu temui. Yang waktu itu tidak masalah. Apa kamu sudah benar-benar sehat?"
"Ya, sehat sekali. Sebagai ucapan terima kasih aku akan ikut denganmu." Aku mengikuti Allan berjalan ke mobil di dekat parkiran para dosen.
***
Suasana restoran yang lengang karena bukan jam makan siang dan dinner membuat kami bebas memilih tempat duduk. Beberapa pengunjung tampak keluar restoran dan juga satu dua orang ada yang masuk. Meskipun begitu, masih banyak meja yang kosong.
"Sebenarnya sudah beberapa kali aku ke kampusmu sejak di rumah sakit itu." Allan mengunyah makanannya setelah berbicara.
Setelah menelan, dia kembali bicara. "Aku ingin bertanya keadaanmu tapi aku kehilangan kontakmu."
"Kamu bisa mencariku ke rumahku tapi." Aku telah lama tidak pulang ke rumah mami. Jika Allan ke rumah, dia tidak akan bertemu denganku. Aku yakin mami tidak akan memberikan alamatku yang baru kepada Allan.
"Kamu sudah pindah? Mamimu bilang kamu tidak tinggal di rumah lagi?"
Tuh kan!
"Aku sudah meni—"
Ya Allah, itu bukankah Lian dan Aqila? Mereka berjalan cepat-cepat masuk ke restoran. Aqila menarik bangku dengan kesal, Lian mengambil posisi di seberang Aqila.
Mereka tidak melihatku, mereka selalu tidak menyadari keberadaanku. Aqila berbicara dengan wajah keras, terlihat sangat kesal. Sementara Lian, aku tidak bisa mendengar sedikit pun apa yang ia ucapkan. Punggungnya menyandar di kursi kelihatannya tidak terpengaruh oleh emosi meledak-meledak Aqila.
"Kamu mengenal mereka?"
Allan juga melihat kepada objek yang menjadi perhatianku.
"Sahabatku."
"Kenapa kita tidak menyapa mereka?" Allan menawarkan.
"Mereka sedang dalam mood yang tidak baik. Sebaiknya kita tak usah masuk," ungkapku mengalihkan pandang dari sepasang kekasih itu.
"Oh ya, aku hanya ingin berbagi cerita denganmu."
Allan pun mengalihkan perhatianku dari memikirkan Lian dan Aqila. Aku mendengarkan cerita Allan fokus. Dia akan bertugas ke Jakarta selama dua minggu.
"Kamu masih ingat dengan Gara?" Allan kembali membuka obrolan baru.
"Iya. Hanya saja aku sudah jarang membesuknya. Apakah dia sudah mendapatkan keringanan hukuman?"
"Keluarganya saja tidak tahu menahu dia berada di mana."
"Maksudmu? Gara tidak pernah diberikan dukungan oleh keluarganya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
عاطفية𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...