Public Speaking (1)

5.4K 151 1
                                    

Hari demi hari terus berkejaran di bumi santri ini, setiap kegiatan terekam jelas di pikiranku. Hingga to'am yang kubeli saat izin keluar itu pun kandas tanpa jejak. Yang tertinggal hanyalah jejak tangan teman-teman yang turut berpartisipasi dalam penjarahannya.

Empat Hari Sudah Berlalu

Malam ini adalah malam pidato bahasa Inggris. Para pengisi acara yang mendaoatkan giliran malam ini telah sibuk sejak tadi sore demi mengatur setiap ruangan yang masing-masing akan merekan tempati. Kakiku melangkah ke ruangan muhadharah secara cepat agar tidak terlihat dan tertangkap oleh ukhti bagian pengajaran yang memantau ketertibam acara. Sesamoainya di ruangan, acara sudah dimulai. Dengan cekatan aku menghampiri Doli yang duduk sendiri. Nama panjangnya Daliyeni, tapi kami lebih akrab memanggilnya Doli.

"Subhanallah, Shila kenapa kamu selalu bernasib baik? Datang terlambat seperti ini tepat pada saat pengawas sedang keluar."

"Alhamdulillah, aku tidak seapes ente," jawabku tertawa kecil.

"Kamu benar! Jika aku terlambat maka akn selalu ketahuan. Setelah itu menjadi perhatian karena berdiri tegak di depan layaknya pengawla barisan."

"Ha ... ha ... ha ..." kami tertawa dengan suara di tahan.

"Aku juga tidak mau terlambat seperti ini jika bukan karena ketiduran. Yaaaah ... mungkin efek dari tidak shalat," ujarku

"Emm ... tagihan bulanan!!"

"Dalwun!(Ember!)" aku tersenyum mengikuti kata dari kamus bahasa Indonesia gaul, kemudian menatap keluat jendela.

"Oh ... no! "

"Kenapa? Kenapa, Shil?"

"Sifat rajin Ukhti Layla kambuh, Dol!"

"Apaan sih?" tanyanya belum mengerti.

"Razia Dol, razia!!"

"Razia apa? Razia kamus? Buku khotbah? Atau ..."

"Oh teman, apalagi kalau bukan kaus kaki!" aku menatap kaus kakinya penuh harap.

"Ih ... iya benar. Dua korban telah dikeluarkan dari kelas depan," tolehnya keluat jendela.

"Dol!" aku sekali lagi menatap kaus kakinya penuh harap.

"Begh ...! Ini nih, manusia tanpa perubahan. Kamu harus belajar tobat, Shil, seperti aku!  Walau sering disetrap, aku mau berubah," cetusnya bangga membusungkan dada.

"Alaah ... baru jadu anak budiman satu hari saja sudah takabur. Ingat budi sedikitlah! Tadi pagi kalau bukan karena gayung milikku, kamu tidak akan dapat keluar dari WC, benar bukan?"

Pertanyaan itu memaksaku mengingat kejadian tadi pagi,  kamar mandi hampir sepi sebab mayoritas santriwati telah pergi ke masjid. Ketika iqamat sedang dikumandangkan, samar-samar aku mendengar suara dari WC yang ternyata adalah suara Doli.

"Ukhti ... Ukhti ... saidi hudziy migrafah!(Ukhti ... Ukhti ... tolong ambilkan gayung!"

Lima menit aku menertawakannya sebelum akhirnya memberikan temanku itu sebuah gayung.

"Ssst ... jangan dibahas lagi, itulah yang disebut dengan kebelet, prosesnya begitu cepat hingga aku mengabaikan sebuah gayung," jawab Doli sembari membuka satu kaus kakinya.

"Bau, Dol!" keluhku ketika memakai sebelah kaus kaki miliknya.

"Berani meminjam berani menerima risiko," tandasnya tegas.

"Kalian berdua, apa tidak bisa diam!!" Kasihan Rodiyah tuh, khotbahnya tidak terdengar jelas," omel Rahmah ke arah kami dengan suara keras sehingga membuat mayoritas penduduk ruangan mematap kami geram.

"Iya ... iya ...," jawab Doli.

Aku hanya diam tidak menaggapi. Aku kesal diperingatkan dengan suara keras seperti itu apalagi di depan khalayak ramai.

"May be enough here my speech. I apologize you of my mistakes .... Wabilahi taufik walhidayah assalamualaikum warohmatullah ...," kata Rodiyah mengakhiri khotbahnya.

Lalu, sang pembawa acara meruskan acara meneruskan acara, "For the next speaker, we call our sister ... Anizhafatul fikriyah."

Meski kesal, terpaksa aku memenuhi kemauan Rahma menjadi pemdengar yang baik meski hanya sanggup sejenak.

"Shil, tim pengawas datang!" bisik Dolu menyenggolku.

"Dari mana saja mereka? Sudah dua orang pengkhotbah lolos dari pengawasan, padahal bahasa inggris dalam pidato mereka tadi acak-acakan," bisikku lagi.

"Kalau mereka tadi tepat waktu maka habislah dikau disetrap di depan dna tidak lupa dikeluarkan staf pengajaran karena kakimu tak berkaus."

"Benar juga!" pikirku merasa beruntung.

"Seperti biasa, mungkin mereka baru saja mengadakan rapat dadakan."

"Sssst .... Ukhti pengajaran datang, Dol!" bisikku memperingatkan Doli.

"Cepat juga ya dia kemari," balas Doli berbisik.

Ukhti Layla berjalan bak polisi memeriksa kelengkapan surat kendaraan. Dari depan ia berjalan ke belakang melewati lorong pertama, kedua hingga akhirnya sampai juga di sebelahku.

"Kamus?" ia bertanya tegas lalu kami pun menunjukkan kamus dan buku khotbah versi bahasa inggris.

"Kaus kaki?" tanyanya lagi.

Lalu, dengam berat hati aku pun mengangkat rok menunjukkan kaki kiriku yang telah terbalut kaus kaki, bagitu juga dengan Doli. "Masya Allah," awal kata dari ukhti layla yang hampir membuatku mati berdiri. Lalu, dengan segeranya kutampik dengan senyuman lugu. Aku berusaha bersikap biasa-biasa saja.

"Pakai baju rapi, jilbab rapi, kok kaus kaki hitam? Masa sudah kelas dua masih pede memakai kaus kailki hitam?" protes Ukhti Layla ke arah kami.

❤❤❤




CAHAYA CINTA PESANTREN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang