Suara tawa dari sekelompok siswa terdengar membahana. Aksan Fikri Syam itu merasa lega mendengar tawa yang keluar dari teman-temannya. Walaupun sebelumnya, ada cek-cok diantara mereka semua sebelum pementasan tari saman dalam rangka memperingati sumpah pemuda. Sekolah mereka mengadakan pementasan yang mengusung tema budaya Indonesia, mulai dari tari daerah, lagu daerah, dan drama dari cerita rakyat Indonesia. Aksan dan teman-temannya dari ekskul tari ikut berpartisipasi. Iya, Aksan ikut ekskul tari yang didominasi oleh para perempuan, anggota laki-laki selain Aksan dalam ekskul ini hanya Diro Prasdany dan Efraim Julio saja, hal ini disebabkan oleh anggapan murid lain bahwa menari hanya untuk perempuan saja, dan lelaki lebih baik ikut ekskul dance.
Beberapa siswi perempuan muncul di kantin dan duduk tak jauh dari para anggota ekskul tari, lalu tak lama kemudian terdengar celetukan dari antara siswi yang baru datang itu.“Ya elah, cuma tari norak aja. Buat apa ditampilin?” tanya Shafira Madalena penuh sindiran.
“Wajar lah Fir, gak pernah nampil sih mereka,” kata Yuslianti menanggapi ucapan temannya.
Sementara itu beberapa anggota ekskul tari, menatap Fira dan Lia dengan tajam, bahkan ada yang ingin menghampiri Fira, namun ditahan oleh Aksan. Ah, dasar perempuan. Tahunya adu mulut. Suasana kantin semakin panas, bukan karena cuacanya, namun karena adik kelas dari ekskul tari tersebut malah menanggapi sindiran Shafira. Tak tahan mendengar ocehan para perempuan itu, akhirnya Aksan melerai mereka. Awalnya mereka tak bisa diam namun setelah Aksan menarik tangan Shafira untuk keluar dari kantin, perdebatan dua perempuan itu usai.
“Haduh, Yohana tadi cerewet banget, sumpah.”
“Yang nyuruh lo debat sama dia siapa?” tanyanya.
Wajah Shafira cemberut dan tampak kesal karena tak menang adu mulut dari Yohana tadi, sementara Aksan memandangnya dengan wajah heran. Ya, karena apa untungnya saling menyindir sih?
“Gue harap lo gak usah ganggu kami,” ucap Aksan.
“Ih, siapa yang gangguin coba? Lagian cuma ekskul tari tradisional doang, yang bahkan gak pernah bawa piala untuk sekolah, gak kayak ekskul dance yang selalu bawa piala dalam setiap perlombaan.” Shafira menjelaskan panjang lebar.
Tatapan Aksan menajam untuk menyelidiki ekspresi wajah ketua dance itu. Shafira adalah dancer yang handal, hal itu tak perlu diragukan lagi, jadi tak mungkin Shafira iri pada mereka 'kan?
“Hahaha ….” Terdengar tawa kecil dari mulut Aksan.
“Kenapa?” tanya Shafira bingung karena Aksan yang tiba-tiba tertawa.
“Gak nyangka kalau lo iri sama kami, Cuma karena ekskul dance gak nampil dalam pentas ini.”
“Gue. Gak. Iri.” Shafira bicara penuh penekanan dalam setiap kata yang diucapkan.
“Halah, kalau iri ngaku aja.”
“Gue gak iri, ok? Cuma gak terima aja tari norak kayak gitu ditampilin,” ujarnya dengan yakin.
Aksan hanya memandang Shafira tak percaya, tari norak yang disebutkan Shafira itu adalah peninggalan budaya Indonesia yang harus dijaga dengan baik. Lalu Shafira malah menghina hal itu. Aksan tidak terima.
“Lo tahu gak kalau tari daerah Indonesia itu keren dan ditampilkan di luar negeri, bukan cuma dance doang. Dan lo bilang tari itu norak? Emang lo bisa membawakan tari itu? Berusahalah menghargai kebudayaan Indonesia.” Aksan mengucapkannya masih dengan nada tenang, namun tak bisa dipungkiri bahwa nada kecewa yang terdengar jelas.
Untuk sesaat Shafira terdiam menatap Aksan dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.
“Lo aneh tahu gak, disaat kebanyakan cowok milih ekskul yang keren, kenapa lo malah milih ekskul yang dianggap sebelah mata San? Kenapa lo malah milih ekskul tari yang anggotanya cewek dan terkesan feminim?”
“Gue gak butuh pengakuan tentang kemaskulinan gue sebagai cowok, gue gak takut kalau dianggap feminim, karena apapun omongan mereka tentang gue, gue tetap seorang cowok dan gak mungkin berubah, walaupun dianggap sebelah mata, setidaknya gue berusaha mempertahankan tarian daerah Indonesia, yang lo anggap norak itu.” Aksan jelas-jelas menyindir Shafira.
“Kenapa lo peduli sama tari dan budaya Indonesia? Percuma aja San, pada akhirnya budaya itu akan hilang karena arus globalisasi.”
Aksan tersenyum miris melihat Shafira yang tampak tak mencintai negeri ini, semangat yang pudar itu tampaknya ada dalam setiap pemuda negeri ini, mereka yang menganggap bahwa melestarikan budaya Indonesia itu tak ada gunanya. Tentu saja dulu Aksan juga begitu.
“Siapa lagi yang bakal peduli pada budaya bangsa ini? Kalau bukan kita? Kalau semua pemuda kehilangan semangat kayak lo, bisa dipastikan bangsa ini hancur,” kata Aksan dengan serius.
Itu adalah perkataan Ayah Aksan sebenarnya, ketika dulu saat baru masuk SMA dipaksa untuk mengikuti ekskul tari. Awalnya Aksan menolak, namun setelah merenungi perkataan Ayahnya tentang bangsa ini, Aksan sadar bahwa harus ada yang peduli, dan semua itu harus dimulai dari diri masing-masing, salah satu caranya adalah melestarikan tari daerah Indonesia yang kini tak diminati para pemuda, kebanyakan pemuda sekarang lebih menikmati dance yang diadaptasi dari luar negeri, tentu saja itu tak salah, seandainya remaja masa kini tak melupakan budaya bangsanya.
Shafira hanya diam saja mendengar perkataan Aksan, dan meninggalkan Aksan di depan kantin, tanpa mengucapkan satu kata pun. Temannya yang di kantin pun ditinggalkannya. Shafira berjalan menuju kelas dan ucapan Aksan tadi terngiang-ngiang di kepalanya.“Siapa lagi yang bakal peduli pada bangsa ini kalau bukan kita?”
Aksan benar, kita harus peduli pada bangsa ini, mungkin kita menganggap sepele tentang kebudayaaan Indonesia, namun kita harus mengingat budaya Indonesia adalah warisan yang sungguh berharga dan harus dijaga oleh kita semua. Shafira pun memutuskan untuk peduli pada budaya Indonesia, hal yang dianggap sepele olehnya dulu.
÷÷÷
Agni Notes
29 Oktober 2017Btw, gue ultah nih.
HAHA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepele
Short Story"Siapa yang bakal peduli pada budaya bangsa ini kalau bukan kita?" Melestarikan budaya Indonesia adalah hal yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang, dan mungkin kau adalah salah satunya, iya 'kan? ÷÷÷ Minggu, 29 Oktober 2017. ©Agnixy