Rana, Nina, dan Cipcip berjalan di lorong dekat kantin. Masing-masing membawa minuman berbeda di tangan kanan mereka. Beberapa anak cowok berlari melewati mereka.
"Ayo cepet! Katanya 11 IPS 2 dan 11 IPA 1 seri nih, udah mau akhir pertandingan!" teriak salah satu cowok itu.
"Ih, biasa aja kali kaya kita! Nggak usah lari-lari gitu juga!" protes Nina sambil cemberut.
"Udah biarin aja! Namanya juga cowok," sahut Rana.
"Kalo dipikir-pikir iya juga, sih. Cowok tuh pada kekanakan dan nggak peka ya. Apalagi anak-anak kelas kita. Ih, un-pacar-able banget! Iya kan, Cip?" sembur Nina.
"Em," Cipcip manggut.
"Kok gitu? Emang separah itu ya cowok kelas kita?" Rana menyentuh jidat dengan telunjuk kecilnya.
"Waktu gue jatuh pas pelajaran olahraga minggu lalu inget nggak, Ran?" tanya Nina.
"Oh, iya. Yang si Ambon nanya 'lu nggak papa' terus pas kamu jawab 'lu liat aja' eh dia beneran ngeliatin doang itu, ya?"
"Iya! Ngeselin, kan. Yang lebih parah pulangnya kan gue jalan kaki, terus di jalan ketemu sama Acong yang bawa motor. Si Acong nawarin gue kan buat dia bonceng..."
"Hm?" Cipcip penasaran.
"Terus ya gue malu dong kalo langsung bilang 'oke', jadi gue basa-basi 'nggak ah, nggak enak gue'. Eh, si sipit beneran ngeloyor! Mana motornya ngebul pula!" omel Nina.
Hihihi! Kedua temannya malah ketawa. Nina jadi cemberut lalu mengunyah es dari minumannya saking keselnya.
"Tapi aku denger kamu malah suka sama salah satu cowok di kelas kita?" kata Rana sambil menyikut perut Nina pelan.
"Kalau gue boleh jujur ke kalian ada sih yang kriteria gue banget."
"Siapa, tuh?"
"Tapi jangan bilang-bilang, ya!" ancam Nina pada dua temannya. "Riko," sambungnya lirih.
"Tuh kan, cowok kelas kita nggak semua seburuk itu!" Rana senang.
"Iya, Ibu Ketua Kelas yang terhormat. Gue ralat. Nggak semua cowok kelas kita un-pacar-able," gerutu Nina.
Rana tersenyum senang. "Emang kenapa si Riko?"
"Gue suka aja cowok yang atletis. Dia juga lumayan imut. Mancung, putih, tinggi juga. Terus dia juga orangnya tenang gitu, jarang teriak-teriak kaya temennya si Dimas," jelas Nina.
"Bukannya yang kaya gitu banyak ya di sekolah kita?" sambung Rana.
"Iya, sih. Tapi entah kenapa gue ngeliat dia tuh beda aja dari anak-anak kelas kita. Ketika yang lain pada pecicilan, kecuali Rehan yang emang tidur melulu, dia bisa cool banget gitu. Ya, gue baru kenal dia pas kelas dua ini sih memang, jadi belom gitu kenal."
"Eh, tapi tau gak, aku sering lihat si Riko merhatiin kamu juga, lho!" bisik Rana.
"Ah, serius, Ran?!" tanya Nina kaget. Pipinya memerah kaya pantat bayi. Bayi gorilla tapi.
"Beneran. Waktu kelas Matematika kalo ga salah aku lihatnya. Tapi pas kamu noleh dia langsung buang muka gitu," jelas Rana.
"Cie..." kata Cipcip.
"Ah masa, sih? Gue jadi ge-er, nih! Nggak percaya, ah!" mukanya Nina makin merah. Sekarang udah kaya orang digamparin preman.
"Tuh dia anaknya lagi nonton futsal! Aku tanyain ya!" sejurus kemudian Rana menarik tangan Cipcip dan berlari sejadi-jadinya.
"Jangan...!" Nina yang panik langsung lari mengejar dua cewek yang membahayakan gengsinya itu.
Tanpa sengaja gelas minuman yang dipegang Cipcip terlepas. Susu coklat dingin mendarat di wajah Nina. Oh tidak! Dia nggak bisa lihat, tapi dia juga nggak boleh berhenti takut dua teman usilnya itu nekat nanya Riko beneran. Akhirnya Nina tetap berlari sambil mengusap minuman yang mengganggu pandangannya itu.
"Awas, bola!" tiba-tiba terdengar suara terikan cowok. Nina yang sudah bisa melihat sadar kalau dia berdiri di lapangan, di dekat gawang. Di hadapannya ada cowok-cowok yang melihat ke arah bola yang melambung ke arah gawang dan Riko yang berlari ke arahnya dari kursi penonton.
Kayaknya gue bakalan kena bola. Terus ngapain si Riko? Aduh, dia mau nolong gue nih kayanya! Kya!
Momen itu terasa begitu lambat. Di pinggir lapangan Rana dan Cipcip menelan ludah menyaksikan momen dramatis itu. Nina masih terpaku tidak bisa memalingkan pandangannya dari Riko.
Diiringi ekspresi tegang dan nggak karuan para penonton di pinggir lapangan, Riko melompat. Kakinya dijulurkan seperti akan menendang. Bola yang menukik cepat semakin dekat dengan Nina yang berdiri di depan gawang.
"Tidaaaaak!" teriak Riko sambil mengayunkan kakinya. Nina menutup mata tak sanggup lagi melihat cowok yang akan menyelamatkannya.
BUK! Nina melayang. Air mata kekecewaan mengalir dari matanya. Dia mendarat di semak pinggir lapangan sementara bola masuk ke dalam gawang. Ternyata bukan bola, melainkan dia yang ditendang.
Prit, prit, prit...!
"Yes! 11 IPS 2 menang!" Riko teriak-teriak sambil lompat kegirangan. "Huft, hampir aja itu cewek bikin kacau. Ayo, sini lima puluh ribu!" tangannya menagih ke beberapa cowok yang menonton di pinggir lapangan. Rana dan Cipcip yang melihat di sisi lain lapangan melongo.
"Aku tarik kata-kataku tadi, Cip. Ternyata cowok kelas kita memang gawat dan un-pacar-able... semuanya," kata Rana.
"Em," Cipcip manggut. No more comment.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keseharian Siswa SMA
Short StoryKalian pernah ngerasain duduk di bangku SMA? Sama aja kah sama rasa duduk di bangku SMP? Kalo gitu berarti SMP dan SMA kalian menggunakan bangku dari pengrajin yang sama. Eits, tapi jangan salah! Ini bukan cerita tentang bangku tapi tentang kesehari...