Aku memerhatikannya lamat-lamat.
Tangan Julian menggenggam mug yang berisi vanilla latte hangat favoritnya. Perlahan ia menyesapnya, membasahi tenggorokannya yang kering. Ia membuka lembar demi lembar buku yang tengah ia baca, kemudian larut dalam cerita yang disampaikan buku tersebut. Sesekali, ia menghirup udara yang terlah terkontaminasi dengan aroma hujan yang menenangkan—petrichor.
Hujan merupakan belahan jiwanya. Ia menyukai hujan seperti ia menyukaiku.
Perlahan, aku mendekatinya dalam diam. Ia tidak menyadari kehadiranku di sampingnya. Aku hanya ingin menemaninya dalam kesenangannya, dan mengagumi parasnya yang mengagumkan.
Pangeranku memang terlihat mengagumkan. Mata cokelat hazel-nya yang teduh membuatku ingin selalu dipandang olehnya. Rambut hitamnya yang selalu dipangkas rapi, dengan aroma sampo mint yang selalu ia gunakan. Wajah tirusnya selalu dibingkai dengan kacamata bulat ber-frame hitam yang menimbulkan kesan pandai.
"Lho, Putri?"
Julian tersentak kaget memandangku yang sudah duduk di depannya dari tadi. "Kamu udah lama di sini? Kok, aku bisa nggak sadar, ya?"
Ia tertawa. Tepatnya, ia menertawakan dirinya sendiri. Tawanya yang renyah seperti menghipnotisku.
"Kamu kan lagi baca buku," jawabku, "John Green lagi?"
"Iya, Paper Towns. Kamu sudah baca, 'kan?" tanyanya seraya melepas kacamatanya dan meletakkan buku di atas meja.
Aku merespon dengan anggukan. Lalu, aku mengemukakan komentarku, "Menurutku ceritanya nggak masuk akal. Kalau aku yang kabur tanpa jejak seperti Margo Roth Spiegelman, mungkin nggak aka nada yang mau mencari aku mati-matian kayak begitu."
Julian menggeleng, "Tentu saja aku yang akan mengejarmu, sampai ke kutub utara sekalipun."
Jantungku seperti berhenti sesaat ketika kalimat itu meluncur dari mulutnya. Aku berusaha menutupi gejolak hatiku dengan menanggapinya dengan candaan.
"Aku nggak akan ke kutub utara, kali. Emangnya aku Barrent, si pelayar dari Belanda yang berlayar ke utara karena mikir bumi itu bulat jadi bebas lewat mana aja?" candaku, "gombal amat jadi cowok."
"Maafkan aku, Princess. I can't handle it," kata Julian, lalu ia beranjak dari duduknya, "mau beli minum dulu untuk the most beautiful princess in the universe."
Aku selalu meleleh ketika Julian memanggilku dengan panggilan itu. Princess, namaku yang ia ubah menjadi bahasa Inggris. Aku merasa bahwa aku satu-satunya princess yang ia miliki. Seperti aku, aku merasa bahwa Julian merupakan satu-satunya pangeran di hidupku. Ia yang akan menjadi teman hidupku. Princess always loves her prince. So, princess and prince live happily ever after.
"Ini minumanmu, my Princess. Caramel macchiato, seperti biasanya," Julian meletakkan mug yang berisi caramel macchiato—satu-satunya kopi yang bisa kutoleransi kadar kepahitannya—di atas meja.
Aku ingin bertanya kepada Julian. Hal yang selalu aku pertanyakan. Aku memandangi mata cokelat hazel yang selalu menjadi favoritku itu dengan takzim. Dengan hati, berusaha aku temukan jawabannya dalam matanya.
"Julian Hadiraja, bolehkah Putri bertanya?" aku memberanikan diri untuk menyuarakan isi hati.
"Apa sih, yang tidak Julian lakukan untuk princess-nya?" jawab Julian dengan wajah yang meyakinkan.
"Apakah princess dan prince akan selalu bersama? Sampai waktu memisahkan mereka? Apakah princess dan prince hidup bersama, selamanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan, Kafe, dan Kau [1/1]
Short Story[CERPEN] Aku tahu, seharusnya aku tak perlu memimpikan dongeng prince dan princess yang hidup bahagia selamanya. Dongengku dan Julian akan terhenti di tengah jalan, dongeng yang akan berakhir di tengah kalimat. Tembok ini terlalu kokoh untuk diroboh...