Bright Fullmoon: Klimaks

96 4 0
                                    

JDUAAAAKKKKKKKKK!

Atap kapel pun jebol saat sang werewolf  menghantam sang iblis ke arah angkasa. Mereka sempat bergulat di udara namun saat ia ingin membantingnya ke bawah, tangannya berbalik dicengkeram. Sayap iblis itu terkepak membuat mereka melayang tidak mau turun, dengan tenaganya yang menguasai udara, justru ialah yang menghempaskan werewolf itu ke tanah dengan satu tendangan, membuat konblok-konblok yang tersemen rapi itu berhamburan.

Dua buah raungan buas pun bersahut-sahutan di tengah malam. Mengalahkan suara petir yang menggelegar dan suara hujan yang semakin deras.

Mereka ganas. Liar. Pukulan dan tendangan. Saling ingin mencabik satu sama lain. 

Saat Zoro ingin mematahkan sayapnya, Sanji menendangnya menembus tembok. Jika iblis itu terbang, werewolf itu pun menaiki tembok dan melompat tinggi menggapainya dan menarik sayap sang iblis dengan satu hempasan. Lalu mereka kembali menghantam tanah. Kadang mereka bergulat di udara berputar-putar. Bahkan sampai menyusuri lorong sekolah yang sempit bagi ukuran dua monster itu. Merusak segala bangunan yang ada. Begitu seterusnya. Pertarungan mereka seimbang.

Tapi ada yang kurang. Sekali lagi, kekuatan iblis berbeda dengan vampir. Dan awan saat itu tengah menggumpal. Sinar bulannya tidak cukup saat tenaga Zoro mulai habis duluan setelah beberapa jam.

.

.

BRUAKKKKKKKK!

Lagi-lagi mereka menghantam tanah. Leher Zoro kini dicengkeram kuat oleh kuku Sanji. Darah perlahan menetes dari cekikannya saat kukunya mulai menusuk masuk. Sanji ingin mematahkan lehernya tapi Zoro sekuat tenaga menahannya. Ia menahan bahu dan tangan Sanji yang merengsek maju sementara ulu hatinya juga tertekan oleh lutut Sanji, membuatnya semakin susah bernapas.

Sial! aku tidak lemah, batin Zoro menggeram.

Ia belum menyerah tapi tak lama, bulu-bulunya mulai menghilang, otot-ototnya mengecil, moncongnya kembali menjadi mulut manusia. Melihat perubahan itu, Sanji lantas mengoyak bahu Zoro dengan taringnya. Zoro bisa merasakan cipratan darahnya itu membasahi sampai pipinya, hangat.

"AAAAAAAARRRRRGGGGH!" rontanya mendelik ke angkasa, mencari-cari dimana gerangan bulannya bersembunyi di tengah lautan awan yang sudah mulai menipis. 

"Sialan, kau lintah mesum." Menyeringai, ia bisa bicara dalam wujud manusia meski terengah-engah, menatap sang iblis dengan mulutnya mengoyah sebongkah daging dari bahu Zoro.  Dalam posisi begitu dekat saling berhadapan, Zoro seolah masih bisa mengenali pemilik wajah itu. "Sebegitu inginkah kau membunuhku? Apa kau sungguhan tidak dapat kembali?" tanyanya pelan.

Tentu saja yang diajak bicara tidak merespon dengan kata-kata, dan ia kembali mengoyak bahu satunya. 

"AAAAAAAARRRRRGGGGH!" Ia bukan bison yang tengah dimangsa singa, tapi jika begini terus... Apa ini yang menyebabkan ras werewolf memiliki populasi yang sedikit dibanding dua ras manusia? Karena pada masa kuno, mereka menangani populasi Diable dan tidak sedikit yang terbunuh?

Aku tidak akan berakhir di sini, batinnya. Sebentar lagi, hujan akan segera reda dan aku akan memperoleh kekuatanku kembali.

.

Tap Tap Tap...

.

Tiba-tiba, suara langkah kecil dengan ketukan keras hak tinggi itu menarik perhatian Zoro dan Sanji. Mereka serempak menoleh dan melihat seseorang mendatangi mereka.

Mata Zoro melotot. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"W-Wanita?"

Ya, kenapa wanita itu ada di sini?

Robin terlihat menuruni tangga kapel dan membawa tengkorak yang sebelumnya dipajang di altar. Zoro berusaha memanggilnya tapi suaranya masih tercekat. Ia tahu Robin pasti telah merencanakan sesuatu. Tapi ia bisa melihat vampir wanita itu tak setenang biasanya. Robin bahkan sampai mengeluarkan bulir keringat yang turun di pelipisnya, hal yang tak pernah dilihat Zoro dari vampir. Ia tampak sedang bertaruh apakah rencananya ini gagal atau tidak,

...untuk menyelamatkan Zoro.

Dan benar saja, Sanji pun terpancing. Ia perlahan-lahan melepaskan cengkeramannya dari leher Zoro, seolah lebih tertarik dengan yang baru datang. Bukan itu sebenarnya. Naluri liarnya mengatakan bahwa hartanya –tengkorak itu– akan diambil dan dibawa pergi. Dan itu tak boleh terjadi. Menjaga harta itu lebih penting daripada mengurusi anjing tak mau diam ini.

"Tu-tunggu..." rintih Zoro saat ia akhirnya bisa bernapas lancar kembali, merasakan bahwa himpitan Sanji yang menekan dadanya itu mulai mengendur.

Detik-detik terasa berjalan lama sekali, sampai akhirnya...

.

.

WUSSSSHHHHHHHH...

Sanji melompat dari tubuh Zoro dan terbang tinggi. Melayang sebentar seolah mengamati kondisi di bawahnya, ia kemudian berputar di udara dan membentuk lingkaran api, lalu melesat seperti peluru...

...menuju Robin.

"WANITA, LARIIIIIIIIIIII!!" pekik Zoro berusaha berdiri.

.

.

"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Zoro kesal, merasakan hawa dingin kuat yang dari tadi disembunyikan di belakangnya. Ia mendongak ke arah pohon yang tumbuh tinggi. Di salah satu rantingnya yang cukup kokoh, Robin terduduk sambil tersenyum geli.

"Fufufu, maaf, aku tidak tahan untuk tidak muncul," jawabnya. Kemudian, ia menunjuk ke arah sebaliknya, "Tapi kau sudah berjalan 70 kilometer jauhnya dari tujuan."

Zoro pun berubah gusar karena berusaha menutupi betapa malu dirinya."Setelah ini kau harus pulang!" perintahnya tanpa basa-basi.

"Kau masih tak mengizinkanku pergi bersamamu?" lanjut Robin.

Dan seketika itu juga Zoro menatapnya tajam, seolah menyampaikan jawabannya secara telepati. Robin sudah hapal bahwa Zoro sulit jujur terhadap perasaannya. Dan seolah bisa membaca pikiran Zoro, Robin akhirnya bisa mengerti hal itu.

"Aku ingin melindungimu..." Begitulah yang Robin baca dari sorot matanya.

.

.

CROOOOOTTTTTTTT...

Robin pun bisa merasakan cipratan darah di pelupuk matanya. Seolah semua yang ia pandang berubah menjadi merah.

---------------------------------------------------------------------------------

Catatan: Ngetik ini sambil nonton video Van Helsing-nya Hugh Jackman lawan Dracula XD.

Two MoonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang