9. Gimana Mau MoveOn?

190 18 3
                                    

Tetesan-tetesan kelabu itu pecah diatas tanah yang basah, aroma petrichor yang khas memasuki indra penciumanku. Disini aku berdiri didepan ruko kecil yang sudah tertutup—suasana dingin menusuk hingga ke kulit ku yang hanya berlapiskan baju seragam sekolah SMA ku yang tipis.

Mataku menatap sendu awan di langit, awan itu mulanya berwarna jingga namun menit berikutnya sudah berganti warna menjadi hitam kelabu. Tetesan bening itu meluruh ke atas tanah, jatuh dan pecah secara bersamaan ke bumi.

Seolah hujan mengerti kesedihanku, awanpun ikut menangis bersamaan dengan hatiku yang teriris. Mataku kembali memanas—rasa sakit begitu menohok, menjalar ke rongga dada seolah mendesak dan membuat ku sesak. Kini aku tak sanggup menahan buliran itu untuk tidak terjatuh—perlahan ku tumpahkan kristal bening yang sedari tadi menggenang dikelopak mata. Air mata ini meluruh sama seperti hujan yang terjatuh tanpa bisa kutahan.

Ternyata cinta dalam diam itu lebih menyakitkan, aku tidak bisa mengungkapkan, tidak bisa mengatakan, dan tanpa banyak bicara aku hanya bisa bungkam tanpa suara. Sakitnya baru terasa saat dia tertawa bersama dengan orang lain—aku tidak bisa melarang karena aku bukanlah hal penting dihidupnya.

Ku seka air mata yang terus mengalir deras dipipiku ini, jantungku berdegup kencang, dadaku terasa ngilu menahan sakit yang bertalu-talu. Ingatanku memutar ulang kajadian di sekolah tadi, saat dimana dia tertawa karena gadis lain sementara aku? Hanya bisa diam memandangnya bagaikan angin yang tak terlihat oleh kasat mata.

Sekali lagi ku usap air mata ini yang terus terjatuh tanpa henti, aku memintanya untuk berhenti namun, ia justru terus berjatuhan bersamaan dengan derasnya hujan yang masih turun membasahi bumi. Untuk yang pertama kalinya dia mempermainkan hati ini, memporak-porandakannya hingga menjadi serpihan yang tak berarti.

"Ternyata diam itu nggak menjamin kebahagiaan," lirihku sembari menahan isakan kecil yang mendesak keluar dari bibir. "Justru diam itu lebih menyakitkan."

Aku bangkit dari kursi yang sedari tadi kusinggahi, tanpa ragu kakiku melangkah—menerobos derasnya hujan sekaligus membiarkan hujan menyamarkan tangisanku. Aku tidak perduli lagi dengan bajuku yang sudah basah, yang aku pikirkan hanyalah cepat sampai ke rumah dan melupakan segala rasa sesak ini.

***

Aku masuk ke dalam rumah dengan baju yang sudah basah kuyup tersiram air hujan. Ku langkahkan kaki yang masih terbungkus oleh sepatu sekolahku—memasuki rumah yang tampak sepi. Ku lihat disana Gitar sedang menonton televisi sembari memakan cemilannya.

Saat tanganku hampir menggenggam pegangan tangga suara Gitar membuat langkahku berhenti.

"Dari mana lo? Jam segini baru pulang?" ucapnya melontarkan pertanyaan intimidasi dengan suara khas ketus miliknya.

Aku yang sedang malas berdebat dengannya hanya menatapnya jengah lalu, kembali melangkahkan kakiku menaiki anak tangga satu persatu. Aku mengacuhkan teriakan Gitar yang meneriaki ku.

Yang ku pikirkan sekarang adalah cepat-cepat ke kamar dan mengganti seragam milik Adam yang sudah basah ini. Aku memasuki kamar ku kemudian meletakkan tas gendongku diatas kursi meja belajarku. Ku buka sepatu lalu membuangnya asal—ku buka lemari pakaianku kemudian mengambil baju secara acak.

Setelah mengganti pakaian, aku menjatuhkan tubuhku ke queen size milikku—menelungkupkan kepalaku pada bantal guling kesayanganku. Air mataku kembali jatuh, rasa sesak itu kembali hadir membuat perasaanku kacau.

Entah apa yang harus aku lakukan yang jelas perasaan ini sulit untuk ku definisikan. Semesta seperti menjungkir balikan hati ini, terkadang aku merasa seperti dipuja namun dilain waktu aku merasa tak ada artinya. Sebenarnya aku ini apa untuknya? Dengan seenaknya dia mempermainkan hatiku, tidak tahukah dia bahwa perasaan ku mudah hancur hanya karena harapan kecil yang ia berikan.

Love in SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang