Lapangan rumput terbentang menangkap cahaya matahari sore yang teduh. Woohyun duduk di bangku pinggir lapangan, biasanya menjadi tempat duduk seorang gadis yang saat ini tengah ia tunggu. Hampir tiga jam berlalu. Woohyun masih sendiri.
Ia meremas jemarinya dengan gelisah. Angin musim gugur yang dingin sama sekali tidak membantunya untuk berpikir lebih jernih. Begitu banyak kemungkinan dalam kepalanya, hampir semuanya adalah kemungkinan terburuk.
"Woohyun-ah..."
Woohyun sigap menoleh ke sumber suara. Seorang gadis berambut tanggung hampir sepinggang menatapnya. Tapi, bukan gadis itu yang Woohyun tunggu.
"Ada apa?" Woohyun bertanya dengan nada ragu. Ada firasat yang memintanya untuk bersiap-siap menghadapi sesuatu.
Gadis itu--Kim Sora--berjalan mendekatinya. Masih dengan ekspresi yang sama, ekspresi baru yang tidak dapat Woohyun tebak maknanya.
"Eunmi pergi. Ia memintamu untuk tidak menunggu." Ucapnya pelan. Namun, sontak membuat Woohyun tergugu tak berdaya, menatapnya, memintanya untuk mengoreksi bahwa ucapannya barusan adalah kesalahan.
Tapi, Sora tidak menunggu Woohyun membalas. Ia kemudian pergi. Meninggalkan Woohyun yang masih menatap punggungnya yang menjauh. Lagi-lagi, untuk menjadi kesepian di dunia yang tidak adil ini.
*****
Di Seoul, empat tahun kemudian...
Woohyun berusaha menikmati cuaca malam ini. Suhu dingin musim gugur menambah sensasi menyesakkan. Tapi, ia masih berusaha untuk tampil di panggung dengan lebih bersemangat.
Kedua anggota bandnya memberikan penampilan terbaik, pikirnya. Jadi, ia harus lebih berusaha.
Setidaknya, hingga ia turun dari panggung dan menghilang dari pandangan puluhan tatap mata penggemarnya yang rela menonton di suhu sedingin ini.
Woohyun meletakkan bassnya dalam tas bass, di tenda tunggu. Ia menghela nafas panjang, melepas topeng façade yang menutupi suasana hatinya yang sebenarnya.
"Good job!" suara Sungyeol memekik nyaring ke telinga Woohyun. Membuat Woohyun mengernyitkan alis karena sebal. Ia menoleh dan mendapati Sungyeol tengah tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang rapi, laki-laki itu mengacungkan jempolnya ke depan mata Woohyun.
Lee Sungyeol adalah teman seumurannya yang menjadi juniornya karena terlambat masuk sekolah dasar. Laki-laki itu bermain sebagai drummer dalam band mereka. Mereka berasal dari konsentrasi yang sama--konsentrasi musik modern. Bertemu karena menghadiri kelas yang sama selama satu semester dan menjalani proyek musik bersama untuk tugas mata kuliah tersebut. Woohyun merasa bahwa sifat mereka sangat berbeda, namun pandangan mereka terhadap musik sangat mirip.
"Lelah, Hyung?" Kim Myungsoo, gitaris band mereka yang aneh--karena memilih berkontribusi sebagai gitaris di band mereka, saat konsentrasinya fotografi adalah sangat aneh bagi woohyun--bertanya.
"Lumayan." sahutnya.
"Masih belum menyentuh sheet musik terakhir?" Sungyeol terkekeh. Membuat Woohyun mengerang, mengeluh.
"Tolong jangan mengingatkanku."
Myungsoo meletakkan tangannya di pundak Woohyun dan memberi senyum simpati, "Ide brilian biasanya muncul di akhir, Hyung."
"Kuharap..." Woohyun berkata pelan.
"Aku tidak ingin mendengarkan ini. Terlalu naif." Sungyeol berkata dengan kesan divanya yang menyebalkan sambil meraih notes kecilnya, mulai mencoret-coret sesuatu.
Woohyun hanya menghela nafas panjang. Sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya pada Myungsoo, "Kau ingin mengatakan sesuatu, bukan?"
Telak saja. Pundak laki-laki tampan itu mendadak kaku, ia terlihat gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reach Your Heart
Fiksi PenggemarAku menemukanmu dalam angka satu yang tak terjamah. Aku mencintaimu untuk satu hari yang tak terwujud. Dan aku merelakanmu untuk hilangkan kesempatan kita berdua dalam jangka sehari saja. Sebab detikmu, paduan eksistensimu, lebih penting daripada ke...