TYB #9

5K 496 52
                                    

"Gak mau, Bunda!"

Lintang sampai kelepasan membentak Ria karena perempuan itu terus-terusan mengajaknya turun ke bawah untuk sarapan bersama. Berkali-kali Lintang mengucapkan kata penolakan, namun Ria tetap saja tak keluar dari kamar anaknya.

Ria menghela napas, gak marah dibentak begitu oleh Lintang. Ia tahu, pasti anak itu tidak sengaja. Terbukti saat ini wajah Lintang mengekspresikan rasa bersalah yang kentara. "Kalau begitu, sarapan kamu Bunda bawa sini aja, ya?"

"Gue benci Bintang! Gue benci juga sama Ayah!"

Bukannya mendapatkan balasan, Ria malah mendengarkan perkataan Lintang yang persis diucapkan anak itu semalam.

Perempuan itu memandang Lintang yang kembali pada posisi awal, yaitu tengkurap dengan menyembunyikan kepala di bantal dan kaki mekangkang. Detik berikutnya, Ria mendengar isak tangis anak itu. Ia paham itu, pasti Lintang masih sakit hati atas kejadian kemarin.

Sebelum Bintang mengakui semuanya pada Ria, kemarin Lintang memang sempat mendesak Bintang untuk segera mengakui kesalahannya. Bintang yang tetap tak mau ngaku, membuat Lintang diserang darah tinggi. Dia menendang kursi roda Bintang membuat saudaranya itu tersungkur ke lantai. Robi yang melihatnya langsung emosi kepada Lintang, lalu melayangkan tamparan keras di pipi anak itu.

Hati Lintang nyeri, perih, dan sakit setelah kejadian itu. Kemarin adalah untuk pertama kalinya Robi memukulnya. Kesakitan Lintang bahkan masih awet sampai sekarang.

Setelah lama memandangi Lintang, Ria memutuskan untuk balik arah, keluar kamar.

Begitu sampai lantai satu, giliran Ria menghampiri kamar Bintang. Hari ini tanggal merah, jadi kemungkinan besar Bintang masih molor.

"Bin." Bersamaan dengan panggilan itu, Ria membuka pintu kamar Bintang perlahan.

Dugaan Ria ternyata salah. Bintang sudah bangun. Anak itu kini terlihat selonjoran di atas tempat tidur sambil ngaca lewat kamera depan ponselnya.

"Nda, pipiku kok berdarah lagiiiii?" Bintang berucap cemas setelah menyadari kehadiran bundanya.

Ria sebenarnya juga cemas, tapi karena masih kesal sama anak itu dia tega membalas seperti ini, "rasain. Azab buat kamu tuh kayanya. Awas, besok belatungan."

"Bunda!" tegur Bintang. Dia kemudian menjatuhkan ponselnya di atas paha.

Ria kesal pada Bintang dikarenakan anak itu belum mau minta maaf juga pada Lintang. Padahal dirinya sudah menceritakan panjang lebar soal pengorbanan saudara kembarnya itu, saat mati-matian menyelamatkan nyawanya.

"Iya, bisa jadi 'kan? Kaya yang di TV-TV itu," sahut Ria menakut-nakuti.

"Azab Saudara Kembar Jahanam." Ria terkekeh samar menyebutkan judul yang cocok untuk kisah Bintang dan Lintang. Lalu, secepatnya ia melangkah mendekati Bintang.

"Bunda, ngomong apa sih, ah!" Bintang semakin kesal.

"Emang bener 'kan kamu jahat." Ria duduk di tepi tempat tidur.

"Aku nggak jahat, Nda. Cuma ..."

"Cuma apa?" sela Ria.

"Cuma nyebelin." Bintang nyengir lebar.

Gemas, Ria menyubit lengan Bintang yang tak diperban. "Sadar 'kan kalau nyebelin."

Sakit sih cubitan bundanya, tapi Bintang memilih tertawa.

"Dih, seneng banget ya kamu." Ria bener-bener dibuat heran dengan sikap Bintang itu.

Selanjutnya, Bintang malah meninggikan volume ketawanya, membuat Ria akhirnya tega menabok lengan Bintang yang luka.

"Awhhh," ringis Bintang seketika. "Sakit, Nda. Gimana, sih?" omelnya pelan.

"Oke. Gak usah banyak omong lagi," ujar Ria sambil bangkit. "Ayo ke kamar mandi, cuci muka, terus sarapan." Perempuan itu mulai membantu Bintang untuk turun dari tempat tidur.

"Hah, iya. Aku juga lagi laper bangeeet."

☆☆☆

Thank You Brother [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang